"Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara internasional Soekarno Hatta, Jakarta Indonesia, kami persilahkan kepada anda untuk menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka dihadapan anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan menutup penutup jendela. Atas nama ... kapten ... dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat jalan, happy landing, terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama kami dan telah menikmati penerbangan ini."
Suara pemberitahuan dari pramugari di pesawat membuyarkan lamunan Jodha yang saat itu sedang dalam perjalanan pulang, setelah cukup lama mengadu nasib di negeri orang, Perancis.
Tujuh tahun sudah Jodha bergelut dengan waktu, mengejar semua mimpinya di kota mode dunia ternama, Paris, untuk menjadi seorang desainer yang cukup diperhitungkan di kancah mode dunia.
Namun, gemerlapnya kehidupan di kota Paris dan anggunnya menara Eiffel tidak membuatnya ingin berlama-lama tinggal atau mencari cinta di sana, karena cintanya telah tertinggal di tanah kelahirannya.
Jodha tidak mungkin bisa melupakan semua itu begitu saja, anak itu saat ini pasti sudah besar, sebentar lagi dia akan berulang tahun yang ke enam tahun.
Masih terekam dengan jelas dalam ingatannya, bagaimana dulu Jodha berusaha mempertahankan anak itu agar tumbuh dan berkembang dengan baik dalam rahimnya.
Hingga perjuangannya antara hidup dan mati, ketika Jodha ingin menghadirkan anak itu ke dunia ini.
Tangisan pertamanya membuat Jodha merasa bersyukur atas anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuknya, tapi sayang ... semua itu terenggut begitu saja dari tangannya.
♥♥♥♥♥♥♥
"Bu, aku mohon dengan amat sangat jangan pisahkan kami, Salim masih kecil, Bu ... dia baru enam bulan."
"Enam bulan itu sudah cukup, Jodha! Mau sampai kapan anak ini ikut sama kamu? Lagian kamu datang ke sini bukan untuk melahirkan seorang anak! Kamu lupa sama cita-cita kamu untuk apa kamu datang ke sini, hah?"
Suara Bu Meinawati, ibunya Jodha membuat Jodha hanya bisa tertunduk lesu. Jodha sadar kalau semua ini adalah salahnya, tidak seharusnya dia kembali dalam pelukkan Jallal, tapi mau gimana lagi?
Pesona laki-laki itu begitu menggodanya. Cinta pertamanya pada Jallaludin Akbar tidak bisa dilupakan begitu saja, meskipun saat ini Jallal telah menjadi milik orang lain, suami kakak kandungnya sendiri, Salima.
"Besok Ibu akan pulang ke Jakarta, Salim akan ikut sama Ibu, sudah saatnya dia bertemu dengan ayah kandungnya. Ibu rasa itu lebih baik, apalagi kakakmu Salima belum hamil juga sampai sekarang, dia pasti akan senang begitu melihat Salim!"
"Tapi Salim masih perlu ASI, Bu ..."
"Enam bulan itu sudah cukup baginya mendapat asupan ASI, Jodha ... kamu nggak usah khawatir anakmu akan baik-baik saja, dia akan dirawat oleh orang yang tepat. Jadi lebih baik setelah ini, pikirkan karirmu, kamu bisa lebih fokus sama kuliah dan karir, anggap saja kamu tidak pernah melahirkan seorang anak!"
"Tapi, Bu ..."
"Apalagi? Apa kamu bisa merawat seorang bayi sementara kamu masih harus kuliah di negeri orang? Apa kamu bisa menjamin bisa membesarkannya dengan baik? Semua itu nggak pernah terlintas kan dalam benakmu? Waktu kamu bermesraan dengan ayah bayi ini?" bentak Bu Meinawati sambil menidurkan Salim dalam gendongannya.
"Ibu sudah cukup toleran sama kamu, Jodha! Ibu dan Bapak nggak meminta menggugurkan bayi ini karena bagaimanapun juga, dia nggak salah. Apalagi dia bisa menjadi anak kakakmu, Salima." Jodha hanya terdiam, tak mampu berkata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCANDAL
RomancePengorbanan seorang gadis demi kebahagiaan kakak dan keluarganya. Demi sang kakak, yang sakit-sakitan, Jodha rela melepas kekasih tercinta untuk sang kakak, Salima. Tapi apakah Jallal, sang kekasih, juga ikhlas menerima semua ini ? Apakah hubun...