AX 39 - Wanna Die

361 42 10
                                        

Ig: @Anantapio26_

Jangan pura-pura lupa sama vote dan komen deh :)
Babang Pio tuh butuh kehadiran kalian. Biar nggak kesepian :')

Benda pipih yang berada di dalam saku bib apron yang dikenakannya bergetar. Terus bergetar tanpa henti. Nanta meraihnya. Ia lihat pada id call yang terpampang jelas di layar ponsel milik Laisa. Iya, milik Laisa. Ia tidak pernah menganggap benda itu seutuh miliknya.

Mine🐟 calling...

Nanta kembali meletakkan benda pipih itu ke dalam saku celananya. Lalu memilih untuk kembali melanjutkannya pekerjaannya dan tidak memedulikan panggilan Laisa yang berulang kali. Ia pun mengheningkan profil ponsel Laisa yang ada di genggamannya.

Seorang pelayan datang. Entahlah, Nanta tidak mengetahui namanya. Kemudian ia meletakkan piring-piring kotor di sebelah wastafel.

"Makasih, Bang."

"Ya, sama-sama."

Orang itu kembali berlalu. Nanta membersihkan piring-piring itu satu persatu hingga semuanya selesai.

Ia melihat ke arah arlojinya. Sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja, tubuhnya sudah terasa sangat lelah.

"Ini, Bro."

Seseorang datang dengan memberikan peralatan pel lantai pada Nanta.

"Bos minta lo ngepel. Restoran udah tutup," jelas orang itu.

Yang bisa Nanta lakukan hanya menurut. Ia melaksanakan tugas itu sebagaimana mestinya. Mengepel ruangan luas yang tidak mungkin jika dilakukan hanya sendirian. Hingga tidak terasa pekerjaannya yang itu mulai selesai. Kemudian pekerjaan yang lain seolah datang menyambutnya.

Seseorang datang mengingatkannya untuk membuang sampah. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan selama itu, ia menahan semua rasa sakit di dalam dadanya. Rasa sesak dari napasnya yang membuatnya sesekali harus berhenti kemudian melanjutkannya lagi sampai semuanya benar-benar selesai.

Nanta menegakkan tubuhnya usai menumpahkan isi dari tempat sampai ke bak besar di depannya. Ia berlalu masuk ke dapur melalui pintu belakang. Tugasnya sudah selesai semua. Mungkin sudah saatnya ia bisa pulang.

Pria itu mendatanginya. Berbicara sebentar pada Nanta kemudian berlalu.

Seperti seorang narapidana yang baru keluar dari penjaranya, Nanta melangkahkan kakinya beranjak dari tempat itu. Bersama tubuhnya yang letih ia terus melangkah di bawah temaramnya lampu kota.

Ia merogoh saku celananya. Mengambil ponsel yang seketika menampakkan puluhan isi pesan juga riwayat pemanggilan dari Laisa.

Nan. Kamu jangan marah, ya?

Kamu di mana?

Aku cari kamu.

Kenapa kamu nggak ada di rumah sakit?

Nanta, kamu di mana?

Dan masih banyak lagi. Nanta kembali memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya. Ia terus melangkah tertatih karena tubuhnya begitu letih.

Sudah nyaris sebelas malam dan tidak ada angkutan umum yang melintas.

Ponselnya kembali berdering. Pasti Laisa yang memanggilnya, ia tahu karena dering panggilan Laisa ia spesialkan. Ia terus melangkah tanpa mengacuhkan dering ponsel itu.

Napasnya kembali menyesak. Ia sudah terlalu kelelahan untuk bertanggungjawab karena tragedi pesanan makanan siang tadi. Nanta menekan-nekan dadanya, menepuk-nepuknya berharap udara kembali lancar memasuki rongga pernapasannya. Namun usahanya sia-sia. Napasnya tercekat, membuatnya seketika terbatuk-batuk dengan hebat.

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang