AX 64 - Half Miss

137 26 9
                                        

Ig: @anantapio26_

Laisa terbangun saat merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pipinya. Ia masih berada di posisi semula saat tahu Nanta mengecupnya cukup lama.

"Maaf, ya? Sudah membuatmu menangis. Aku nggak ada maksud buat nyakitin kamu, La. Sedikitpun nggak ada."

"Nggak usah minta maaf. Aku yang salah, terlalu banyak tanya sama kamu."

"La." Nanta menarik napasnya. Lalu memberikan sebuah buku saku pada gadisnya. "Tulis semua yang ingin kamu lakukan selama di sini di buku ini."

Laisa bangun dari posisi tidurnya lalu memeluk Nanta dengan erat. Memejamkan matanya sejenak hingga semua bayangan yang membuatnya gelisah kembali ditayangkan dengan jelas. Ada seorang gadis kecil dengan seorang pria dewasa yang terlihat familier di ingatannya. Pria itu membawa gadis mungil ke sebuah halaman luas belakang rumah yang terdapat sebuah kolam renang.

Laisa tersentak saat menyaksikan bayangan yang dilakukan oleh seorang pria terhadap gadis kecil tadi. Darah segar kembali mengalir keluar dari hidungnya. Ia segera menyekanya meski ujung-ujungnya malah membuatnya terlihat semakin belepotan. Ingatan buruk itu kembali datang. Membuatnya semakin tidak kuasa untuk menahan rasa sakit di belakang kepalanya.

"Aku tahu siapa pria itu," lirih Laisa di sisa-sisa tenaganya.

"Kamu baik-baik aja, La?" Ah, bodohnya Ananta. Wajah Laisa sudah pucat seperti mayat, seharusnya bisa menjelaskan bahwa gadisnya tidak baik-baik saja. Nanta segera menyeka darah dari hidung Laisa dengan kaus tipis yang dikenakannya, biarpun ia yakin aroma tidak sedap dari tubuhnya yang belum mandi akan tercium oleh Laisa.

"Nanta." Laisa melirih lagi.

"Aku sengaja bawa kamu ke sini, supaya kamu punya ruang yang luas untuk mencari semua jawaban atas semua pertanyaanmu itu, La."

"Makasih." Laisa menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Nanta. Sedang, ia masih sibuk dengan ingatannya yang berlalu-lalang tanpa arah, seolah mencari jalan menuju ke rumah. Dan bukankah, rumahnya sudah berada di pelukannya? Iya, Ananta adalah rumahnya.

"Jangan berpikir terlalu berat dulu, ya? Aku nggak mau kamu sakit."

Laisa mengangguk. Cara Nanta menyayanginya begitu dewasa. Caranya yang tulus, semoga kelak tidak membuatnya pupus.

🐟🐟🐟

Ia menyodorkan buku saku yang tadi Nanta berikan kepadanya. Menunjukkan beberapa keinginannya selama di Banda Neira.

Berkemah.
Menangkap ikan di laut.
Bakar ikan.
Melihat bintang.
Tidur di samping deru ombak dan di bawah gemerlap cahaya bulan.

Baiklah, semuanya sudah Nanta siapkan. Tentunya dengan bantuan Agam yang memberi petunjuk ke mana ia harus menyewa segala peralatan camp. Setelah berpamitan dengan Bu Sri dan Pak Bahar ia pun meluncur menuju Pulau Hatta, satu tempat di mana wakil presiden pertama itu mengasingkan diri. Ah, rasanya ia pun ingin mengasingkan diri bersama gadisnya.

Menjelang petang, ia pun sudah sampai di tempat tujuan. Nanta menaruh tas ransel yang ukurannya cukup membuat bahunya pegal, tapi untunglah, Laisa mau memijatnya.

"Yang ini, La. Naik lagi." Nanta menunjuk-nunjuk bahunya dan Laisa hanya menurut saja. Laki-laki itu menggerak-gerakkan bahunya, memutarnya ke depan lalu ke belakang setelah Laisa selesai memijatnya. Berusaha melemaskan otot-ototnya yang tegang.

Cukup. Nanta bangkit lantas mendirikan tenda sebelum akhirnya menceburkan diri ke pantai dan menangkap ikan bersama gadisnya. Ia pun tidak percaya dengan Laisa yang akhirnya berani untuk menyentuh permukaan air pantai. Bahkan gadisnya ikut berburu ikan dan berhasil mendapatkan dua ekor ikan dari tangkapannya. Ah, perlu diapresiasi, meski ikan yang di dapatnya tidak terlalu besar dan tidak akan mungkin bisa membuat keduanya kenyang.

Perlahan cahaya senja mulai beranjak dari tempatnya. Tenggelam di ujung lautan dengan menyisakan warna lembayung yang indah. Perapian untuk menghangatkan tubuh sekaligus membakar ikan hasil tangkapan mulai dibuat. Nanta melepaskan kausnya yang basah lalu menyampirkannya pada atap tenda dan membiarkan tubuhnya diterpa angin laut.

Terlihat warna kebiruan karena memar di sekitar plester selang pulmonalis yang terpasang di perutnya. "Nan, kok memar?" selidik Laisa.

"Gapapa, La. Suka gini emang."

"Terus kamu diemin?"

"Cuma memar biasa. Nanti juga sembuh lagi."

"Ananta, ini udah parah."

"Udah, La. Nggak perlu khawatir."

"Kalo didiemin gini bisa bahaya, Nan!"

"Sebahaya apa memangnya?"

"Bisa infeksi, Nanta. Kamu ngerti nggak, sih?"

"Belakangan ini kamu hobi banget marah-marah, La."

Laisa terdiam. Berpikir seakan peduli pada lelakinya sendiri adalah hal yang sia-sia bahkan tidak perlu untuk dilakukan.

Nanta memberikan ikan bakar buatannya pada Laisa. "Nih, cobain. Aku nggak jago masak." Lalu terkekeh sendiri.

Gadis itu menerima pemberiannya. Kemudian pelan-pelan menyantapnya, seperti takut kalau hasilnya kurang pas di lidah. Setelah dicobanya, ternyata masakan Nanta tidak terlalu buruk.

"Cuma kurang asin," komentar Laisa.

"Itu air laut. Celupin aja," kelakar Nanta.

"Kalo ngomong sembarangan!" Tanpa segan Laisa menghukumnya dengan cubitannya yang kecil, membuat Nanta seketika merintih kesakitan.

"Sakit, La." Nanta mengeluh sambil mengusap-usap lengannya.

"Biarin aja!"

"Lala."

"Hm."

"Sini duduk."

"Aku udah duduk."

"Di sini, La."

"Udah di sini."

"Deket lagi sini."

"Udah deket."

"La."

Laisa tidak menyahutnya. Lagi dan lagi, ribuan pertanyaan menyergapnya tanpa henti. Berenang-renang ke sana kemari memenuhi kolam ingatannya.

Terpaksa Nanta harus mengalah, ia yang menghampiri Laisa.

"Kamu tahu panggilanku yang itu dari mana?"

"Rara dan Lala. Dua gadis kecil yang kala itu menjahiliku sampai menangis." Nanta tertawa, sontak Laisa mengernyit dalam.

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa."

"Kamu itu kembar, La. Dan ternyata Tuhan lebih sayang Rara. Tuhan menjemput Rara lebih dulu."

"Jangan ngarang deh!" Raut tidak percaya terpatri jelas di dua bola matanya.

"La, aku tahu kamu sejak dulu. Aku sempat tinggal di Surakarta sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Nggak lama setelah kembali ke Jakarta aku dapet kabar kalau Rara sudah dijemput Tuhan dan kamu, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Untunglah, Bapakku dan Papamu saling kenal. Kamu tahu, alasanku masuk ke SMA Brawijaya yang dikenal sebagai tempat pendidikannya orang-orang borjuis?"

"Apa memangnya?"

"Ada kamu, La. Ada kamu yang selama ini aku cari. Ada kamu yang sejak usiaku lima tahun mulai tertarik denganmu. Jelas kamu nggak ingat, karena saat itu kamu begitu terpukul dengan kepergian Rara yang selalu menjadi mimpi burukmu." Nanta menghela berat.

"Kenapa kamu tiba-tiba misterius gini, sih?"

"Kamu cuma masih bingung aja, La."

"Yang masih menjadi pertanyaanku, Rara meninggal karena apa?"

"Kalo itu, aku juga nggak pernah tahu."

"Bohong."

"Buat apa aku bohongin kamu, La?"

Nanta bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri tenangnya deru ombak dan ikut tenggelam dengan cahaya senja di ujung laut sana. Hingga hampir lima menit lamanya ia kembali menyembulkan kepalanya dari permukaan air. Menatap Laisa dikejauhan dengan kedua netranya yang penuh syukur. Bersyukur akhirnya Laisa bisa menjadi separuh rindunya yang sudah ditemukan.

Tbc...

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang