Ig: @Anantapio26_
Kalimat yang baru saja meluncur dari sepasang bibir Nanta membuat Laisa semakin tidak mengerti. Ia pun menghampiri Nanta. Ah, ayolah! Andai dadanya bisa terbuka lebar, pasti hatinya yang terbelah-belah akan nampak dengan jelas. "Aku nggak ngerti dengan semua ini," ujarnya.
Nanta tertawa hampa. "Siapa pun nggak akan pernah bisa mengerti, La. Lagi pula siapa yang bisa mengerti saat seorang laki-laki begitu mencintai seorang gadis, tapi ia harus melepaskannya? Nggak akan pernah ada."
"Laisa sayang." Nanta kembali meraih kedua tangan Laisa. "Maaf, sudah tidak ada kata kita di antara aku dan kamu. Maaf, aku harus melepasmu. Aku yakin, akan ada seseorang yang lebih mampu membuatmu bahagia. Jangan menangis lagi, ya? Jangan sedih. Ini semua bukan akhir. Oh iya, jangan mengira kalo aku nggak cinta lagi sama kamu. Asal kamu tahu, aku lebih mencintaimu daripada mencintai diriku sendiri."
"Nanta, kamu jahat."
Nanta tersenyum. Sedang, gadis di hadapannya mulai terisak. "Aku tahu. Aku dan kamu hanya butuh waktu. Lagi pula apa yang kamu bisa harapkan dari aku yang sakit-sakitan seperti ini? Kamu tahu? Kamu membutuhkan seseorang yang mampu menjagamu dengan baik. Bukan seperti aku yang tidak bisa menjaga diriku sendiri. Maaf, ya, La." Jemari Nanta bergerak untuk menghapus air mata Laisa. Sudah dua kali ia membuat gadis itu menangis di hari yang sama.
🐟🐟🐟
Dua bulan kemudian, di mana ia sudah mulai jarang bertemu dengan Nanta. Sepertinya laki-laki itu lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan OSIS atau jurnalistik. Terbukti, sudah beberapa kali ia berjumpa dengan Nanta yang kala sore itu tengah berkutat dengan papan mading. Mengisinya dengan berita terhangat yang lebih positif. Ia pun, sudah harus fokus dengan latihan menari, karena tiga bulan lagi akan mengikuti festival ajang pencarian bakat setingkat SMA.
Laisa menaruh tasnya, siang ini ia harus kembali berlatih keras untuk kompetisinya. Termasuk mengkoordinir timnya untuk lebih kompak dan kompeten. Sebagai ketua tim, Laisa harus bisa memberikan yang terbaik. Termasuk mengerahkan segala tenaga dan pikirannya untuk kemajuan tim.
Dengan pena di tangannya, Sherin selaku sekretaris ekskul jurnalistik memperhatikan segala yang dilakukan oleh tim seni tari. Mereset seluruh kegiatannya untuk dijadikan berita tambahan yang membangun. Berlatih keras, percaya diri, pantang menyerah, itu semua nampak jelas di tim yang Laisa pimpin.
"Gue salut sama semangat mereka," ujarnya pada Nanta yang ikut menyaksikan Laisa latihan.
Nanta hanya tersenyum.
"Kalo soal ini, di sini Laisa cukup tegas, loh," tambah Sherin tak henti-hentinya memuji Laisa. Nanta pun sampai tahu kalau Sherin mengidolakan Laisa.
"Cantik, berbakat, pintar. Gimana gue nggak ngidolain dia?" Sherin tertawa kecil.
"Tulisan kamu juga di mading keren, kok. Sempat nggak nyangka juga pas lomba rubrik jurnal sekolah bisa juara satu. Padahal dikerjain sendiri dan mepet cuma satu malem."
"Itulah makna dari the power of kepepet. Tapi gue nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama Laisa."
"Jangan membandingkan. Hidup bukan tentang perbandingan, tapi tentang usaha keras."
Sherin mengangguk-angguk. "Lo udah nyiapin pertanyaan buat wawancarain Laisa?"
Nanta terperanjat. Ia heran. "Bukannya itu tugas kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...