Ig: @Anantapio26_
Langkahnya sudah sampai tepat di depan pintu lapuk. Tanpa ragu ia pun mendorong pintu dan masuk. Terlihat Ibu yang sedang sibuk sendiri di dapur, sedangkan Handara dan Andi masih dalam rutinitasnya bekerja separuh waktu setiap setelah pulang kuliah. Nanta menghampiri Ibu, mencium punggung tangannya penuh rasa rindu.
"Doni mana, Bu?" tanya Nanta.
"Pergi sama teman-temannya."
"Kalo Bapak?"
"Bapakmu, kan, masih kerja."
"Aku ganti baju dulu, Bu."
Ibu mengangguk. Nanta berlalu masuk ke kamarnya, menaruh tasnya di meja belajar. Lalu mengganti pakaian sekolahnya. Di depan cermin ia memperhatikan bentuk tubuhnya yang jauh dari kata sempurna, kurus dengan bentuk kotak-kotak di perutnya yang nyaris rata. Satu tangannya terangkat dan langsung memperlihatkan bekas lubang operasinya yang mulai menutup. Sungguh, rasa ngilu masih dapat ia rasakan dari sisi dadanya itu. Selang dari tabung pulmonalis pun masih setia menancap dan menjuntai ke perutnya.
"Le."
Panggilan Ibu membuat Nanta nyaris lompat dari tempatnya. "Iya, Bu." Cepat-cepat ia menghampiri Ibu.
"Kamu makan dulu, ya? Sudah Ibu siapkan."
Nanta mengangguk. Ia bersyukur dengan hadirnya Ibu yang benar-benar nyata. Ia pun menurut.
"Doni sudah makan, Bu?"
"Sudah. Cuma kamu yang belum."
Hening. Ibu kembali berkutat dengan pekerjaan dapurnya membuat kue untuk dijajakan esok harinya. Nanta segera menghabiskan makanannya. Lalu menghampiri Ibu yang nampak lelah namun harus tetap bertahan.
"Bu."
Ibu tidak menyahutnya dan lebih memilih untuk menunggu Nanta kembali melanjutkan kalimatnya. Ibu memang pendengar yang baik.
"Aku mau tanya, Bu."
"Tanya apa, Le?"
"Ibu pernah merelakan seseorang yang Ibu cintai?"
Ibu terdiam. "Kenapa, tho, Le?"
"Tanya aja, Bu."
"Tidak hanya Ibu, semua orang pun pernah harus merelakan. Untuk benar-benar merelakan, mereka hanya butuh waktu."
Nanta membisu. Menurutnya, membicarakan soal waktu hanya menambah rasa ketidakrelaannya semakin besar. Ia tidak ingin kehilangan Laisa.
"Mana yang bisa aku bantu, Bu?"
Ibu menoleh ke arah Nanta. "Kamu jaga ovenan Ibu, ya? Kalau sudah matang kamu angkat kuenya."
"Aku pikir kalo sudah matang, aku makan kuenya."
Ibu tersenyum. Sedangkan, Nanta nyengir lebar tanpa dosa.
🐟🐟🐟
Pagi itu, hujan rintik-rintik membasahi kota. Nanta mengayuh sepeda milik Doni untuk ke sekolahnya, sedangkan sang adik berdiri di sepasang jalu penyangga.
"Nih, tambahan uang jajan," ujar Nanta memberikan selembar uang kertas lima ribuan pada Doni.
Doni tersenyum lebar. "Makasih, Mas." Ia pun berputar dan mengayuh sepedanya menuju ke sekolahnya yang hanya berjarak sekitar tujuh ratus meter dari sekolah sang kakak.
Nanta melangkahkan kakinya melewati gerbang sekolah. Tangannya bergerak menepuk-nepuk punggung Sherin yang tengah berjalan tergesa berusaha menghindar dari rintikan kecil air hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...