Ig: @Anantapio26_
Setelah satu Januari, rupanya semesta tetap bersikeras tak mau merestui. Membuat relung yang pernah terisi dalam sekejap kembali terasa sendiri. Ujung sepatunya menendang krikil di depannya, membuat kerikil itu terpental menuju dasar danau. Untuk ke sekian kalinya ia menghela pasrah.
"LAY!!!" Suara Jonathan menggema ke seantero alam terbuka di sekitarnya. Laki-laki itu berlari mendekat dengan kedua tangan menggenggam dua es krim yang dibawanya.
"Es krim buatan Oma, nih. Lo harus cobain!" kata Jonathan begitu antusias. Padahal gadis di depannya ini sedang tidak bersemangat untuk melakukan hal apa pun.
Laisa menerima es krim yang Jonathan bawakan untuknya. Lalu duduk di bangku taman panjang, memandang kosong danau di hadapannya.
"Es krimnya manis, Lay. Kayak lo." Jonathan berusaha merayunya.
Laisa menoleh ke arah sepupunya itu. "My name is Laisa not Laysa!" tegasnya, tapi laki-laki di sampingnya terlihat tidak peduli.
Jonathan menarik napasnya. "Udah diajakin liburan masih galau aja," ujarnya sambil melumati es krim dengan nikmat.
Laisa hanya bisa menghela berat. Jelas hatinya risau, karena seharusnya ia berada di samping Nanta bukan malah asyik berliburan di tempat ini. Pacar macam apa kau ini? batinnya.
"Udah. Tenang aja. Pacar lo itu bakal sembuh, kok."
Laisa menoleh. Jonathan yang ia kenal sebagai makhluk sialan karena lebih senang menjahili orang lain tenyata bisa sebaik ini di waktu yang tepat.
"Kalo nggak sembuh, ya, berarti dia mati."
Ah! Laisa menyesal sudah menilai Jonathan bisa menjadi sosok yang baik, jika pada akhirnya tidak sama sekali. Laki-laki itu tetap sama di waktu tujuh tahun lalu, tepat saat keduanya masih duduk di bangku SD. Iblis kecil.
"Loh, kenapa? Bener, kan, kata gue?" Tanpa merasa berdosa sama sekali Jonathan malah bertanya seperti itu, meski di sisi lain memang ada benarnya.
"Jangan ngomong sama gue lagi!" bentak Laisa segera pergi meninggalkan Jonathan di tempatnya. Kali ini hatinya sedang tidak dapat diajak untuk berkompromi. Ia ingin menangis saja, di sudut kamar.
"LAY, GUE KAN CUMA BERCANDA. JANGAN BAPERAN DONG!!!" teriak Jonathan sia-sia. Laisa tetap pergi meninggalkannya dan masuk menuju vila.
"Argh! Sialan, punya mulut kalo ngomong suka bener," gerutu Jonathan kesal sendiri. Ia pun berlari untuk mengejar langkah Laisa, meski sebenarnya sudah tidak dapat terkejar dan ia yakin jika Laisa sudah mengunci pintu kamarnya.
"Joe."
Langkahnya berhenti saat Mama Laisa memanggilnya.
"Kalian kenapa?" tanya Mama Laisa bingung.
"A-anu ... Tante, Laysa galau," jawab Jonathan dengan jujur.
"Ya sudah. Kamu panggilin, ya? Setelah itu kita makan siang bersama."
"Iya Tante." Jonathan menganggukkan kepalanya dan menyanggupi. Ia menaiki tangga, yang langsung tertuju pada pintu kamar Laisa.
Diketuknya pintu kamar itu. Namun, Laisa tetap tidak mau membukanya.
"Lay, udah ditunggu nyokap, tuh, buat makan siang bareng. Bukannya bantuin masak, lo malah galauin dia mulu."
Aduh, Jonathan! Tangannya segera menepuk mulutnya. "Lemes lo kalo ngomong!" omelnya pada diri sendiri.
Di dalam kamar, Laisa merasa semakin kesal sendiri. Baginya, Jonathan tidak hanya menjadi iblis kecil yang pekerjaannya adalah tukang buli, melainkan lebih dari itu. Mengabaikan segala ocehan Jonathan di luar sana, Laisa memilih kembali mengingat-ingat perkataan Nanta, bahwa lelaki itu hanya butuh istirahat dan tidak mungkin meninggalkannya sendirian begitu saja. Laisa harus percaya itu, agar semuanya menjadi baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...