Ig: @Anantapio26_
Handara segera menegakkan tubuhnya saat melihat Aira keluar dari kamar rawat. Lalu tersenyum simpul.
"Saya pikir kamu beneran ke kantin," ujar Aira mengawali.
"Saya mau ke kantin kalo sama kamu."
"Saya, kan, kerja, Han."
"Maksud saya nanti pas jam makan siang. Kamu masih suka lontong sayurnya Mbok Jum, kan?"
"Mau traktir saya?"
"Nggaklah. Nggak salah maksudnya."
Aira tertawa. "Ya sudah. Saya kembali kerja dulu."
"Jadi mau?"
"Iya."
Anggukan kecil kepala Aira membuat Handara tanpa sadar meninju udara. Sukses mengharuskan Aira menatapnya dengan aneh. Buru-buru Handara menormalkan kelakuannya. "Oke," ujar Handara langsung masuk ke kamar rawat.
🐟🐟🐟
Operasi pergantian tabung pulmonalis berjalan lancar, meski harus tersisa denyutan yang selalu membuatnya ngilu. Harus Nanta akui, di tengah rasa sakitnya yang terus berdenyut membuatnya tak mampu berpura-pura lagi. Apalagi efek dari anestesi lokal yang diberikan tidak bisa berlangsung lama. Dan kini Nanta hanya bisa terbaring lemah. Ia benci dengan ini semua. Dengan sekat ruang, dengan rasa sakitnya, dengan obat-obatan yang sudah menjadi sebagian dari nyawanya, dengan Bapak yang terus-menerus kerja keras agar dirinya sembuh.
"Ini, Ibu bawain bubur kacang hijau buat kamu," ujar Ibu sambil menyodorkan semangkuk bubur kacang hijau yang dibawanya.
"Makasih, Bu," balas Nanta tetap memaksa suaranya untuk keluar. Padahal ia ingin sekali meringis atau bahkan menangis, tapi ia tak ingin senyuman Ibu yang semakin termakan usia menghilang.
"Tadi Dokter Maurin bilang, kalo kamu udah boleh makan. Pasti laper, kan?"
Nanta mengangguk. Bersamaan dengan wajah pucatnya ia tersenyum. Baginya, Ibu bukan hanya sekedar malaikat yang Tuhan utuskan ke bumi untuk menjaganya, tapi lebih dari itu, bahkan lebih dari sekedar Ibu yang memang begitu sulit untuk didefinisikan. Ditatapnya wajah Ibu dengan penuh sesal, ternyata sudah sejauh ini Ibu melangkah, terbukti dengan raut wajahnya yang lelah namun terus bertahan untuk tidak menyerah.
Tangan Ibu bergerak untuk menyuapi Nanta. Namun, Nanta malah memegang tangan Ibu membuat Ibu kembali menyimpan sendok di tangannya ke dalam mangkuk. Netranya menatap tangan Ibu yang mulai terlihat keriput. Mendadak ada suara gemuruh, riuh, hujan dan petir pun saling bersambar di dalam dadanya, membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata. Diciumnya tangan Ibu dengan cukup lama dan Ibu mengelus rambutnya dengan tangannya yang lain.
Nanta membisu, andai ada kata lain yang lebih baik dari dua kata terima kasih, pasti sudah ia katakan sejak dulu. Teruntuk Ibu, dua kata itu terlalu sederhana, tapi sayangnya tidak ada kata lain yang cukup tepat untuk menggantikan dua kata itu.
"Lek, sudah. Ndak apa-apa." Suara Ibu menenangkannya. Namun, tangis Nanta malah semakin deras, seakan gemuruh petir dan hujan di dadanya semakin keras saling bersahut-sahutan. Punggungnya bergetar untuk sekuat mungkin menahan isaknya.
Kedua manik mata milik Nanta bergerak menatap Ibu dengan begitu dalam, seolah tengah mengisyaratkan segala rasa sayangnya yang masih malu-malu untuk diutarakan secara langsung. Tubuh Nanta beringsut, sekaligus dengan sekuat tenaga ia tahan rasa ngilu di dadanya. Lalu mengecup pipi Ibu yang entah kapan terakhirnya ia cium. Dan sekarang terasa keriput di tulang pipinya, menggambarkan perjalan jauh yang sudah lama Ibu tempuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Jugendliteratur(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...