AX 26 - Good Bye, Bro.

359 56 36
                                    

Ig : @Anantapio26_

Vote skuy jangan lupa yauw wkwk, karena Babang Pio selalu berharap dapet dukungan dari kalian :)

Malam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi pikiran Nanta mulai melayang jauh. Terutama mengenai Gigi, membuatnya lagi-lagi memutar tubuh dengan gelisah.

Pandangan Nanta jatuh pada Andi yang kini sudah terlelap tidur di kursi terapi. Kakaknya yang satu ini memang berbeda, Andi lebih pendiam dari ketiga anak ibu, lebih hangat dari Handara dan tidak sekaku dirinya. Sepertinya anak ibu yang paling istimewa adalah Andi.

Nanta menghela, lantas mendudukkan dirinya. Sungguh, hatinya begitu gelisah. Tatapannya tertoleh ke arah pintu yang seketika membuatnya harus bangkit dan menuju ke sana. Ia menyibakkan selimut dan mulai beringsut pergi dari tempatnya.

"Mau ke mana, Nan?" tanya Andi.

Nanta menghentikan langkahnya kemudian menoleh pada Andi yang ternyata tidak benar-benar sedang tidur. "Mau keluar sebentar, Mas," jawabnya.

Andi kembali diam dan Nanta lanjut melangkahkan kakinya.

Koridor terlihat begitu senyap dengan ujungnya yang gelap. Nanta menyeret kakinya menuju pintu kamar rawat Gigi.

Gelap. Terlihat dari kaca persegi yang terpasang pada daun pintu. Mungkin Gigi sudah tidur, pikirnya. Ia menghela, jemarinya menyentuh pintu.

Bruk!

Nanta menoleh ke sana kemari saat mendengar suara seseorang terjatuh. Apa dari dalam kamar rawat Gigi?

"Gi," panggilnya yang malah seakan disahut dengan bunyi sesuatu benda yang pecah.

"Gi!" seru Nanta menggedor pintu kamar rawat Gigi.

Kemudian terdengar suara Gigi yang terbatuk dengan amat keras.

Nanta menarik handle pintu kuat-kuat. Ah, ayolah! Pintu itu terkunci rapat.

"Gi, are you okay?" tanya Nanta tidak mendapat sahutan apa pun dari dalam.

Ceklek!

Kunci terbuka. Nanta segera mendorong daun pintu dan masuk ke dalam kamar rawat sahabatnya itu. Kedua matanya terbelalak saat melihat Gigi terkapar tidak berdaya dengan tubuh bersandar pada tembok.

Persetan dengan jarak enam kaki yang harus ia patuhi, Nanta segera meraih tubuh Gigi. Ia menatap wajah pucat sahabatnya dengan darah yang keluar dari kedua hidungnya.

"GI!!! BANGUUUN!!!" raung Nanta.

"Ini nggak lucu." Nanta berharap ini hanya kejahilan yang Gigi perbuat. Ia tidak siap untuk kehilangan Gigi.

"Gi, bangun!" gertak Nanta menggoyang-goyangkan tubuh Gigi.

"I want to go home," lirih Gigi nyaris tak terdengar.

"Kamu harus sembuh. Jangan tinggalkan saya. Saya nggak mau sendiri." Nanta memohon, tapi reaksi Gigi hanya diam.

Nanta segera bangkit untuk memencet tombol panggilan perawat. "Suster, tolong saya, Sus. Saya di kamar rawat Gigi. Dia mengalami pendarahan," jelasnya.

Tidak lama kemudian beberapa perawat datang dengan dua dokter jaga. Nanta segera menyingkir dari sana dan pandangannya hanya mengikuti langkah perawat yang lantas membawa Gigi menuju ruang IGD.

Rasa takut itu bercampur aduk di dalam benaknya. Kenapa harus Gigi, bukan dirinya? Padahal ia yang menginginkan hal itu terjadi. Ah, ayolah Tuhan. Rasanya ini tidak adil.

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang