Ig: @Anantapio26_
Ia menghela berat setelah membaca satu pesan masuk dari Alfan. Cowok itu memintanya untuk menemaninya bertanding basket untuk melawan kelas Jonathan. Ah, lebih tepatnya Alfan memaksanya untuk menyaksikan pertandingan basketnya, mungkin agar terlihat mengesankan.
Bel istirahat pertama pun berbunyi. Lapangan dalam sekejap dipenuhi oleh semua murid yang ingin menyaksikan pertandingan yang katanya dari dua kubu cowok populer. Cih! Laisa menatap ke arah lapangan dengan malas.
Putri menyodorkan jus jambu merah yang dibawanya pada Laisa. "Caper banget jadi cowok," umpatnya saat Alfan melakukan dribel dan menyempatkan untuk menolehkan kepalanya ke arah Laisa sambil berseringai.
Sedangkan Laisa hanya diam dengan raut datarnya. Ia terlihat sungguh tidak bersemangat untuk menjalani hari-harinya. Apalagi sejak harus tidak ada Nanta lagi di kamusnya. Ia menghela.
Putri melirik saat sekilas saat tanpa sengaja melihat Nanta berjalan melewati koridor utama dan hendak pergi ke ruang jurnalistik. Ia sempat melihat laki-laki itu dan yakin dengan tatapannya yang tertuju ke arah Laisa. Namun, Nanta tetap melanjutkan langkahnya lurus menuju ruang jurnalistik.
Riuh rendah suara sorak seketika menggema saat Alfan berhasil mencetak tiga poin sekaligus. Cowok itu pun tersenyum bangga ke arah Laisa, seolah unjuk diri bahwa dirinya begitu hebat. Ah, tetap saja menurut Laisa yang terhebat tetaplah papanya juga Nanta. Nanta yang tak pernah ingin membuat orang lain terkesan akan kemampuan dirinya. Nanta yang hanya bersikap biasa saja tanpa berniat sedikitpun menarik perhatian orang lain. Juga Nanta sosok laki-laki langka yang entah datang dari peradaban mana. Mungkin dari peradaban para dewa, sesuai dengan namanya.
Alfan terlihat berjalan mendekat setelah pertandingan selesai dan berhasil ia menangkan. Dengan begitu bangganya ia berdiri tepat di hadapan Laisa. "Loh, kok mukanya kayak nggak semangat gitu?" tanyanya manis.
Laisa hanya menggeleng. Sepasang kelopak matanya pun menyipit untuk menghalau silaunya pantulan sinar matahari.
"Kenapa?" tanya Alfan lembut. Tangannya bergerak untuk menyentuh pipi Laisa, namun dengan cepat gadis itu menghindar.
"Panas," alibi Laisa segera pergi menuju tempat yang lebih teduh. Diikuti dengan Putri yang ternyata malah berpamitan karena mendadak seorang guru memanggilnya.
"Guru-guru lagi rapat. Kantin, yuk?" ajak Alfan tidak habis akal.
"Yuk, lah. Gue yang traktir kalian," sahut Jonathan muncul dari belakang tubuh Alfan.
Sedangkan Alfan, dengan tatapannya memelas agar Laisa mau.
"Oy, Bro! Ayo!" teriak Jonathan kepada timnya yang lantas mengekor sampai kantin.
Ramai-ramai mereka mengunjungi kantin. Mau tak mau Laisa pun ikut dengan mereka. Dengan perilaku bossy mereka menyingkirkan siswa lain yang sedang duduk asyik bercanda ria untuk menempatinya. Rasanya Laisa ingin pergi saja dari bumi, lalu membangun planet baru yang hanya di huni olehnya mungkin juga Nanta seperti yang pernah laki-laki itu bicarakan.
Laisa duduk di samping Alfan dengan perasaan tidak nyaman. Terpaksa harus menuruti keinginan Alfan. Di kejauhan, tanpa disadarinya Dimas, Bobi dan Arya sedang memantaunya dengan bersikap biasa-biasa saja.
"Lo mau pesan apa, Cha?" tanya Alfan.
Laisa menggeleng. "Nggak usah. Gue nggak laper," jawabnya datar.
"Ayolah, mumpung si Joe lagi baik, nih. Jarang-jarang kan dia kayak gini," rayu Dion teman Alfan.
"Udah, udah. Kalo emang nggak mau nggak apa-apa. Lumayan jadi agak ngirit," lerai Jonathan karena memang sedang tidak ingin ada keributan antara Laisa dengan teman-temannya. Ia yang sudah tahu bagaimana sifat keras kepalanya Laisa pun lebih memilih untuk mengalah. Kemudian nyengir lebar.
Tak lama kemudian datang rombongan gincu merah yang langsung bergabung dengan Alfan dan teman-temannya. Jujur saja, Laisa agak risih jika harus bergabung dengan orang-orang yang menurutnya norak seperti mereka. Rok pendek, kemeja ketat dan rambut pirang seperti rambut kuda. Ah, sudahlah. Lebih baik ia enyah dari tempatnya. Laisa memilih pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata untuk berpamitan.
"Cha, mau ke mana?"
Pertanyaan Alfan pun tidak Laisa jawab. Ia tetap melangkahkan kakinya menuju kelas.
Dengan cepat Alfan bangkit, namun gerakannya untuk menyusul langkah Laisa dicegah oleh Jonathan. "Sabar, Bro. Semua butuh proses dan kesabaran," ucapnya membuat Alfan kembali duduk dan menyetujui ucapan Jonathan.
Langkah kakinya terhenti saat dirinya harus berpapasan dengan sosok Nanta yang baru muncul dari sebuah lorong. Di tangan kiri laki-laki itu terdapat gulungan panjang kertas warna, sedangkan tangan kanannya nampak sibuk mengetik sesuatu. Dengan satu langkah mundur ke belakang, Laisa bersembunyi di balik tembok tiang besar dan membiarkan Nanta melewatinya begitu saja.
Laisa menampakkan tubuhnya setelah Nanta berlalu. Rasanya sangat sulit untuk melepas laki-laki sebaik Nanta, serta sepertinya akan sangat sulit untuk mencari sosok yang sama dalam diri yang berbeda. Kakinya kembali terayun hingga menuju kelas.
Laisa mendudukkan diri di bangkunya dan mencoba untuk tetap tenang. Tak lama kemudian Putri menyembulkan kepalanya dari balik jendela yang terbuka lebar.
"Cha," panggilnya seperti biasa.
Laisa mendongakkan kepalanya.
"Ada something dari someone," ucap Putri lagi. Namun Laisa tidak menghiraukannya dan lebih memilih untuk kembali sibuk dengan pikirannya. Pikirannya yang tengah dipenuhi dengan hadirnya sosok Nanta.
"Ih, Cha! Masa lo nggak penasaran, sih?" seru Putri memasang wajah kecewa.
"Gue nggak peduli," ujar Laisa menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Putri tahu dengan apa penyebab Laisa menjadi berubah seperti ini. Berubah dengan warna yang lebih muram, mendekati abu-abu. Putri lantas melangkahkan kakinya masuk ke ruang kelas dan duduk di samping Laisa. Ia merangkulnya.
"Cha, padahal gue dapet tiket konser gratis dari Arya buat kita berdua. Cuma kita berdua, Cha."
"Konser apa?" Laisa menegakkan tubuhnya dan menatap malas Putri.
"Nadin Amizah," jawab Putri ceria berusaha menyalurkan semangatnya untuk Laisa. Ia pun menunjukkan tiket konser di tangannya pada Laisa. "Nih, ambil." Putri menyodorkan satu tiket itu pada Laisa.
Laisa menerimanya. Menatap tiket yang dipegangnya dengan sedikit hampa. Seingatnya, Nanta pun menyukai semua senandung yang dinyanyikan oleh Nadin Amizah.
🐟🐟🐟
Sore, nyaris pukul lima. Putri sudah berpamitan lebih dulu untuk pulang bersama Arya. Ia melangkahkan kakinya di sepanjang koridor kelas menuju koridor utama. Dengan kepalanya yang menunduk, ia menatap ujung sepatunya yang melangkah pelan. Bahkan sangat pelan. Menghela sebentar, lantas menegakkan kembali kepalanya dan menatap lurus ke depan.
Namun, sesuatu telah membuatnya kembali berdebar hebat. Laki-laki itu muncul dari balik pintu dan tengah melangkahkan kakinya berlawanan arah. Laki-laki itu masih menunduk, namun ketika langkahnya hanya tersisa beberapa meter ia mengangkat kepalanya, bahkan seolah tak lupa untuk menunjukkan senyuman tipis yang manisnya sebagai kata sapa.
Nanta sudah berlalu. Langkah Laisa terpaku setelah sempat membalas senyuman itu dengan kaku. Secepat itukah Nanta mampu untuk bersikap biasa saja dan seakan tidak pernah terjadi apa-apa?
Rasa sesak menyergap isi dadanya sekaligus menghentak-hentak dengan keras. Tanpa sadar, Laisa menjatuhkan satu tetes bening di pipinya.
Tbc...
Mungkin kalian bingung sama part ini. Oke astor kasih tau, kalo part ini ceritain tentang Laisa dan Nanta yang pas lagi papasan dengan sudut pandang Laisa. Maklum aja, astor lagi belajar nulis di berbagai sudut pandang heuheu. Maklum juga, astor masih penulis amatiran wkwkwk. Oh iya, vote, share dan komennya jangan lupa yauw....
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Ficção Adolescente(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...