AX 93 - Separate Section

165 18 9
                                    

Ig: @Anantapio26_

Masih sunyi. Hanya ada beberapa siswa yang datang dan mengisi bangkunya masing-masing. Itu pun siswa yang termasuk golongan paling rajin. Gadis itu menghela sebentar, jika dipikir-pikir masuk ke jurusan sosial cukup mengajarkannya arti dari sebuah rasa sabar. Sabar memiliki teman-teman dengan akhlak minimalis, meski mereka cukup ideologis.

Ia melangkahkan kakinya ke depan, berhenti di ambang pintu. Lantas mengedarkan pandangannya ke berbagai arah. Sampai pandangannya jatuh pada sebuah bangunan kelas yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter dari hadapannya. Iya, sebuah ruang kelas yang berhasil membuatnya teringat pada sosok Nanta. Sosok yang masih dikabarkan dalam keadaan lemah.

Salahkah, jika ia memilih pergi tatkala Nanta tengah bertarung dengan nyawanya sendiri?

Seseorang tiba-tiba menyodorkan setangkai bunga mawar merah tepat di depan wajahnya. Laisa menoleh ke arah orang itu yang malah tersenyum sambil berkata, "Ada bunga yang harus lo bayar, Ca."

Padahal ia sama sekali tidak memintanya.

"Cukup lo bayar pake senyuman lo di pagi ini," ujarnya lagi.

Laisa merotasikan kedua bola matanya dengan jengah. Sekaligus berharap pada Tuhan untuk mengenyahkan makhluk semacam Alfan.

"Ayolah, Ca," bujuk Alfan.

Laisa menatapnya dengan datar.

"Ca." Alfan pun memelas. "Sedikiiittt... aja," pintanya.

"No," tolak Laisa mentah-mentah. Ia pun segera meninggalkan Alfan dengan tidak memedulikan laki-laki itu.

Tidak tinggal diam, Alfan berusaha mencegah langkah gadis pujaannya. "Ca, Ca, Ca, seenggaknya lo terima bunga ini," katanya memohon sambil terus menyodorkan setangkai bunga mawar merah yang dibawanya.

Laisa melirik Alfan dengan sinis. Jujur saja, ia masih merapalkan doa-doanya agar Tuhan cepat mengabulkan permintaannya. Setidaknya untuk mengenyahkan Alfan dalam sehari saja.

"Khem!" Itu suara Arya yang berdeham keras untuk mengusir Alfan. "Fan, lo dicariin Helen, tuh," lanjut Arya. Dan benar saja, Helen sedang berjalan menghampiri Alfan. Dan setelah sampai, gadis itu menarik Alfan dengan sadis sambil terus mengomel.

"ALFAN!!!" teriak Helen dengan pita suaranya yang mirip megafon sekolah. Sedangkan Alfan, menggaruk kepalanya dengan gemas sekaligus kesal pada sepupunya yang tidak tahu waktu dan kesempatan.

"Sini lo ikut gue!" teriak Helen lagi yang lantas menyeret Alfan. Laki-laki itu pun hanya bisa pasrah.

Kuat-kuat Laisa menahan tawanya agar tidak meledak begitu saja saat melihat Alfan yang terlihat pasrah dibawa oleh Helen. Tapi ia pun bersyukur, Tuhan mengabulkan doanya agar Alfan segera enyah.

"Ada info penting, Ca," ujar Arya tanpa basa-basi setelah Alfan dibawa pergi oleh Helen.

"Soal?" Laisa sudah menduga bahwa pembicaraan ini mengarah pada sosok itu.

"Ananta."

Benar saja dugaannya. Siap-siap Laisa memasang pertahanan di dalam hatinya. Saat mendengar satu nama itu pun, perasaannya sudah terasa begitu sesak. Apalagi saat harus menjumpai sosoknya.

"Dia harus balik ke Bandung. Entah buat berapa lama. Gue tau info ini dari Mas Handara," lanjut Arya menjelaskan.

Sedangkan Laisa hanya bisa membisu. Lagipula apa yang bisa ia lakukan untuk Nanta? Tidak ada bukan? Oleh karena itu, ia memilih pergi dan menghindar dari Nanta. Tidak salah bukan? Ah, ini pun untuk kebaikan Nanta juga.

"Ya, lalu?" tanya Laisa dengan suara yang tertahan.

"Ca, apa lo nggak ngerasa kalo Nanta itu butuh lo?" Putri yang menimpali pertanyaannya.

Laisa menggeleng. Ia tidak menjawab pertanyaan Putri yang begitu monohok baginya. Dan lebih memilih untuk pergi dari hadapan dua sahabatnya. Jelas, sebenarnya ia begitu merasakan bahwa Nanta memang selalu membutuhkan hadirnya. Namun, lagi dan lagi ia harus ingat pada semesta yang tak pernah berpihak padanya.

Entah kedua langkahnya ini akan ia bawa ke mana, yang pasti ia menyadari saat kedua kakinya menaiki anak tangga menuju atap sekolah dan berdiri menatap sebuah lukisan kapur yang mulai memudar. Sebuah lukisan yang rupanya tidak jadi Nanta singkirkan dari tempatnya. Lebih tepatnya, Nanta memilih untuk membiarkan papan tulis itu tersandar pada dinding dan menyatu dengan tumpukan-tumpukan bangku.

"Maafin aku, Nan. Aku pergi. Semoga kamu bahagia meski tanpa aku. Kini, aku dan kamu bukanlah kita yang sediakala." Sambil menahan tetes air mata yang perlahan membasahi pelupuknya, Laisa meraih penghapus kain dan menghapus semua goresan kapur putih di atas papan hingga tanpa sisa.

Ia menatap papan tulis yang kini tak lagi menampakkan sketsa wajahnya dengan perasaan berat. Penghapus kain di tangannya pun tanpa terasa terjatuh begitu saja. Disusul dengan bunyi dengung panjang yang mengisi gendang telinganya, membuat kedua tangannya spontan meremas kedua telinganya.

Laisa pun terjatuh dengan rasa sakit atas keputusannya sendiri. Atas ketidakrelaannya untuk pergi. Hujan di pelupuk matanya pun turun. Membasahi permukaan kedua pipi halusnya. Ia merunduk, berusaha menyembunyikan tangisnya dari mentari pagi yang tengah bersinar redup, seolah memang ingin menemaninya bersedih.

Bahunya bergetar, menahan sesak yang siap meledak. Sampai akhirnya, ia memilih untuk menumpahkan semuanya.

"Ca." Putri menghampirinya.

"Put, gue nggak bisa. Bantu gue buat lupain semua tentang Nanta. Bantu gue, Put," raung Laisa bersama tangisnya.

Sedangkan Putri, hanya mampu mengulurkan tangannya untuk membawa Laisa ke dalam pelukannya. "Semuanya butuh waktu, Ca. Gue hargai keputusan lo."

Tangisannya semakin pecah. Laisa berharap bahwa dirinya menghilang detik itu juga, selayaknya tak pernah terlahirkan.

"Semua ada bagiannya sendiri, Ca. Ada waktunya tersendiri untuk melepas, mengikhlaskan, atau pun melupakan," ujar Putri. "Gue harap, waktu yang akan memulihkan semuanya. Cepat atau lambat."

Laisa terisak. Dalam tangisnya ia berusaha meredam segala ketidakrelaannya untuk melepas. Ia hanya tidak rela jika harus berpisah dengan Nanta yang sudah menjadi separuh rindunya. Bahkan di saat seperti ini pun, ia merindukan sosok Ananta Sadewa. Namun, ia percaya, Ananta adalah dewa yang kini akan selalu bersamanya meski tidak mungkin lagi untuk saling menyapa.

Putri terus memeluk Laisa, sampai sahabatnya mampu mengendalikan rasa sesaknya.

"Jika cinta menyakitkan, lalu mengapa Tuhan membiarkan kami jatuh pada perasaan yang sama?" lirih Laisa.

"Ca, cukup, ya? Sayang air mata lo."

Perlahan tetesan air hujan mengguyur permukaan tanah. Menyambut rasa sakitnya dan menemani suara tangisnya dengan rintikan yang perlahan menderas. Hujan seolah lebih tahu bahwa kedukaan yang paling dalam adalah mengikhlaskan. Mungkin saat ini semuanya butuh waktu, butuh belajar sebagai pembelajaran, juga menguatkan diri untuk lebih kuat lagi.

Putri bangkit, menuntun Laisa untuk meneduh. "Believe me, there will be someone who sincerely comes back to you, even if you decide to go away from him."

Kedua bola mata Laisa yang basah menatap Putri penuh rasa keyakinan. Ya, mungkin bukan untuk sekarang, melainkan di masa yang akan datang.

Tbc...

Ada yang bisa nebak selanjutnya gimana? Atau mungkin endingnya kek apa?

Yuk komen yuk :v

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang