AX 85 - Schizoid

128 25 10
                                    

Ig: @Anantapio26_

Hampir pukul tiga sore, ia baru selesai menyelesaikan kliping yang akan dipajang di mading esok hari. Beberapa anggota jurnalistik sudah ijin pulang lebih dulu setelah pekerjaan masing-masingnya selesai. Di ruangan itu pun hanya tinggal beberapa gelintir murid yang masih asyik menyelesaikan karya tulisnya.

Nanta menyerahkan kliping hasil susunan tangannya pada Sherin.

"Cukup rapi," nilai Sherin.

"Udah, kan? Kalo udah saya mau pulang duluan."

"Heem." Sherin mengangguk.

Syukurlah, Nanta tidak harus menuruti lagi segala yang diperintahkan Sherin. Ia pun berpamitan untuk pulang lebih dulu. Lagipula ia ingat kalau sudah ada janji dengan Olivia.

Koridor utama nampak lengang. Ah, entah kenapa hari ini cukup sering bagi matanya untuk menangkap sosok Laisa, baik di kejauhan atau di jarak beberapa meter darinya sekarang ini. Nanta hanya mengangkat dua sudut bibirnya dengan tipis untuk sekedar menyapa gadis itu. Tidak salah bukan jika dirinya menyapa? Lagipula hanya berusaha untuk tetap ramah pada siapapun yang ia kenal dan tidak lebih dari itu. Apalagi gadis itu tampak membalas senyumannya meski sekilas.

Baik, tidak perlu berdebar secara berlebihan. Karena itu hanya akan membuat otaknya kembali bekerja dengan abnormal.

Hanya itu saja pertemuannya dengan Laisa. Selebihnya Nanta harus cepat-cepat pulang dan membersihkan diri untuk menepati janjinya dengan Olivia.

Tepat pukul lima sore setelah ia membersihkan tubuh. Ia mendapat panggilan seluler dari Olivia. Rupanya gadis itu sudah bersiap-siap untuk menjemputnya di tempat yang sudah dijanjikan.

Nanta segera beranjak masuk menuju kamar untuk mengambil jaketnya, setelahnya ia berlalu pamit pada Ibu. Ibu membolehkan asal pulang tidak terlalu malam. Nanta pun meluncur berjalan kaki menuju tempat itu. Tempat yang berjarak tujuh ratus meter dari rumahnya yang berada di dalam gang sempit.

Bersamaan dengan munculnya Nanta dari gang kecil, mobil yang Olivia kendarai berhenti tepat di depan gang kecil itu. Nanta segera masuk dan duduk di jok samping Olivia.

"Masih harus pake itu?" tanya Olivia saat melihat penampilan Nanta lengkap dengan selang oksigen dan tas OCP yang menggantung di bahunya.

"Nyawa mana bisa ditinggal, Via." Nanta mendesah.

Olivia kembali diam sebelum mengubah topik pembicaraan. "Kita ke toko kue dulu, ya? Gue mau beliin Mama kue kesukaannya. Terus abis itu kita ke toko bunga, gue juga mau beliin bunga kesukaan Mama."

"Oke." Nanta mengangguk.

Perjalanan mereka sesuai dengan yang Olivia bicarakan. Mereka mampir ke sebuah toko kue yang langsung menampakkan banyaknya kue yang bertenggernya dengan cantik. Seakan kue-kue itu sedang menunggu seseorang untuk membelinya.

"Lo suka kue apa?" tanya Olivia tiba-tiba. Membuat Nanta segera menoleh ke arahnya. "Suka donat?" tanyanya lagi.

"Makanan manis cukup pantang buat saya," jawab Nanta. Ia ikut merunduk di sebelah Olivia yang sedang mencari-cari model kue ulang tahun dari luar etalase.

Olivia menoleh. "Tapi kalo sedikit boleh, kan?"

"Ya, sesekali."

Gadis itu menegakkan tubuhnya. Kemudian berjalan menghampiri mbak-mbak penjaga toko dan memesan beberapa kue untuk pesta kecil ulang tahun sang Mama. Tak harus menunggu lama, kue pesanannya sudah ia dapatkan dan Nanta kebagian tugas untuk ikut bantu membawakannya.

"Sebanyak ini?" tanya Nanta heran.

"Bukan cuma buat kita. Tapi semua suster jaga yang jagain Mama."

Nanta mengangguk-angguk paham. "Kirain." Ia terkekeh bodoh.

Mobil yang Olivia kendarai segera menuju florist. Sesampainya ia pun membeli beberapa tangkai bunga tulips dengan warnanya yang cerah. Warna merah, kuning dan ungu. Perpaduan warna yang bagus.

"Gue sempat tinggal di Belanda beberapa tahun. Dan di sana Mama suka berkebun yang isinya bunga tulips."

"Masih satu keluarga sama bunga lili, kan?"

Olivia mengangguk.

"Laisa suka banget bunga itu." Nanta mengatakan itu tanpa sadar. Saat ia tersadar nampak wajah Olivia yang menurutnya sulit terbaca. "Ah, sorry."

"No problem. Kalo masih sayang memang begitu. Gue maklum kok," kata Olivia tersenyum.

Nanta menghela berat. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju rumah sakit jiwa yang ternyata jaraknya tidak terlalu jauh. Perjalanannya pun hanya ditempuh dengan waktu setengah jam.

Malam ini Olivia nampak bahagia. Nanta dapat melihatnya dari pancaran aura senyumannya yang terus mengembang tidak seperti biasanya.

Kakinya sampai pada sebuah rumah kecil yang hanya terdapat satu kamar lengkap dengan beberapa ruang. Seorang suster membuka pintu itu setelah Olivia mengetuknya.

"Gimana keadaan Mama hari ini, Sus?" tanya Olivia tangannya sembari menaruh barang bawaannya di meja.

"Seperti biasa, Kak. Tadi Mama juga sempat ngamuk. Tapi sekarang sudah lebih baik," jawabnya.

Olivia tidak bertanya lebih lanjut lagi. Ia menengok kamar mamanya yang tidak terkunci dan wanita paruh baya itu sedang duduk di kursi rodanya menghadap ke jendela. Kepalanya menoleh ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dan biasanya Mama akan tidur sekitar pukul tujuh malam. Itu salah satu rutinitasnya yang teratur.

Ia berjalan mendekati Nanta yang sedari tadi hanya mematung. Lalu memintanya untuk ikut membantu mempersiapkan semuanya. Kue ulang tahun dan bunga tulips.

"Yuk. Gue kenalin lo ke Mama," ujarnya.

Nanta baru kali ini melihat Olivia sedamai ini. Ia mengikuti Olivia.

"Halo, Mama. Lihat, nih. Aku bawain kue ulang tahun buat Mama."

Tidak ada reaksi dari wanita paruh baya itu yang tetap berada di posisi diamnya.

"Aku juga bawa teman, namanya Ananta Sadewa dan biasa dipanggil Nanta."

Ada kesedihan yang tertahan dalam diri Olivia.

"Halo, Tante. Saya Ananta. Senang bisa ketemu Tante. Ibu dari sosok bidadari cantik di samping saya ini," sapa Nanta. Olivia menyenggol lengannya.

"Ma, Nanta emang gitu orangnya." Olivia menatap mamanya yang seperti patung. Hanya diam dan tidak bersuara apa-apa kecuali saat kumat. "Selamat ulang tahun ya, Ma."

Tidak ada lilin yang menyala. Karena Olivia tahu, Mama tidak akan pernah meniup lilin itu. "Semoga Mama tetap menjadi malaikatku. Malaikat yang selalu tersenyum dan cantik." Ia mencium kedua pipi Mama. "Terima kasih untuk semuanya, Ma."

Tangan Nanta terulur mengusap pundak Olivia. "Sepertinya saya pun harus berterima kasih sama Tante karena sudah melahirkan gadis secantik Olivia. Terima kasih ya, Tante." Nanta malah ikut-ikutan. Ia mencium tangan Mama Olivia.

"Oliv," panggil Nanta.

Olivia menoleh. Menatap Nanta lurus.

"Mumpung ada mamamu. Bisa tidak kalau kita sama-sama belajar untuk menumbuhkan perasaan yang sama. Saya tahu ini terlalu cepat, tapi saya ingin kamu memulihkan saya."

Olivia memejamkan matanya. Ia tidak mengerti dengan maksud Nanta yang terlalu rumit untuknya. "Harus gue jawab sekarang?"

"Kamu minta pendapat seseorang dulu. Mamamu misalnya, saya tahu mamamu pasti mendengarkan semuanya. Hanya saja beliau sedang asyik dengan dunia antah-berantahnya, sama seperti saya belakangan ini."

Ah, iya. Olivia harus ingat jika Nanta tidak seutuhnya hidup di bumi dan separuh jiwa laki-laki itu kerap berterbangan di dunianya sendiri. Sekilas, Nanta seperti sama dengan Mama dengan kasus kejiwaan yang lebih ringan.

Tbc...

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang