Ig: @Anantapio26_
Senja sudah menghilang, bergantian dengan malam yang mulai datang membawa bintang-bintang. Malam ini sepertinya bulan sedang enggan hadir. Mungkin sedang bermesraan dengan matahari yang sudah bersembunyi, seperti halnya dua anak manusia yang tengah menikmati silirnya angin laut. Kecupan hangat mendarat di puncak kepala Laisa. Membuat gadis itu mendongakkan kepalanya untuk menatap Nanta yang selalu sedia menjadi tempatnya bersandar.
"Malam kali ini terlalu indah jika dilewatkan begitu saja."
"Kenapa, ya, Tuhan membiarkan kita sejatuh cinta ini?"
"Entah, aku pun bingung." Nanta merebahkan tubuhnya. Keram di perutnya karena memar mulai kembali terasa, sialnya, obatnya yang sudah menjadi sebagian nyawanya malah tertinggal di rumah Bu Sri.
Laisa ikut merebahkan tubuhnya di samping Nanta. Memeluk lelaki itu di antara pasir yang mulai menyelimutinya. Kalau perlu sampai pagi tiba ia memeluk Nanta atau bahkan sampai pasir menguburnya hidup-hidup berdua dengan Nanta.
Seberkas sinar bintang melintas di depan matanya. "Ada bintang jatuh. Permohonan kamu apa, Nan?"
"Memangnya bisa ngaruh, ya, sama permohonan yang kita buat?"
"Para astrologi bilang gitu."
"Sayangnya aku nggak percaya astrologi, La. Lagi pula bintang jatuh karena ia ingin bersembunyi sebelum akhirnya mati."
Ah, benar saja. Nanta, laki-laki yang memilih realita dengan segala analoginya daripada ramalan. Kemudian lelaki itu mengarahkan tubuhnya pada gadisnya, menatap Laisa dengan lekat. Menerobos pada manik mata indah yang selalu menginginkan lebih dari sekedar hadir, yaitu menetap. Bergerak dan mengecap kening gadisnya dengan hangat.
"Andai aku yang jadi bintang jatuh itu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Nanta tiba-tiba.
"Inget, ya, Nan. Kamu hilang aku nggak akan pernah cari kamu."
"Bagus. Biar aku saja yang menemukanmu."
🐟🐟🐟
Bincang semalam rupanya berhasil mengantarkannya ke alam mimpi yang sulit ia artikan, karena di pagi harinya Laisa merasakan sesuatu hal yang berbeda. Ada satu hal yang kini membuatnya merasa lebih damai dengan diri sendiri tanpa harus menuntut masa lalu. Ia menegakkan tubuhnya, rupanya Nanta sudah bangun lebih dulu untuk menyambut lembayung yang melambai merah di ujung langit. Lelakinya tengah berdiri dengan pakaiannya yang sekedar di sampirkan pada bahunya, memperlihatkan tubuh kurusnya dengan tonjolan otot seadanya. Ah, kenapa lelakinya lebih senang dengan cara berpakaian yang seperti itu?
Entah untuk ke berapa kalinya, Nanta melempari batu-batu kecil ke permukaan pantai. Seakan sedang menargetkan sasarannya, seperti lemparannya sudah jauh dan kali ini harus lebih jauh lagi. Sampai akhirnya ia menoleh ke belakang, menatap gadisnya yang sedang duduk di bawah atap tenda. Ia berjalan menghampiri.
"Semalam mimpi apa?" tanya Nanta tangannya terulur, siap digapai tangan Laisa.
"Memimpikan satu hal yang nyata." Laisa menerima uluran tangan itu lalu bangkit.
"Apa itu?"
"Ada kamu di sampingku sampai pagi ini."
"Sampai kapan pun, aku ada untukmu, La. Hukum aku jika suatu saat nanti aku pergi." Dengan lembut Nanta mengecup puncak kepala gadisnya. Lalu menyatukan debar di dalam dadanya untuk saling bertaut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...