Ig: @Anantapio26_
Pandangannya mengedar ke seluruh ruang yang begitu ia kenali. Ruangan ini lagi. Ah, berapa lama lagi ia harus tinggal di dalam ruangan ini? Selang infus dan oksigen kembali menempel di tubuhnya.
Nanta menoleh ke arah samping, menatap raut lelah yang kini sedang terlelap. Kini ia merasa benar-benar tidak berguna dan hanya bisa merepotkan orang lain. Tangannya bergerak menyentuh puncak kepala yang sedang tertunduk di atas brankar. Tertidur dengan begitu lelapnya.
Laisa, sosok gadis yang benar-benar harus ia lepas. Belajar untuk ikhlas memang tidak semudah mengeja kata, namun bukankah belajar adalah sebuah proses yang mesti dinikmati tanpa harus berprotes? Meski lagi-lagi ia tahu, ia paham bahwa melepas yang hampir digenggamnya itu tidak mudah.
"Terima kasih, untuk semuanya. Untuk kamu yang hadir dalam sepiku, untuk kamu yang seperti hujan di tengah pelataran gersang, untuk kamu yang kembali menghidupkan pohon di jiwaku." Pelan, bahkan sangat pelan. Nanta tidak ingin membangunkan Laisa.
Perlahan ia melepas infus juga mati-matian menahan rasa sakit saat jarum infus itu dicabutnya, kemudian beranjak dari brankar dengan tak membiarkan sedikitpun suara decitan berbunyi. Lalu dikecupnya puncak kepala Laisa dengan cukup lama. Sebelum akhirnya pergi dari tempat itu. Meninggalkan Laisa tetap terlelap dengan membiarkan posisinya yang seperti itu.
🐟🐟🐟
Benderang kota seperti menyambut kedatangannya, dibalut dengan embusan angin malam yang menerpa tubuhnya pelan. Dingin, kembali membuatnya merasa ngilu. Ia menyeret kakinya, berjalan entah ke mana arah tujuannya. Setidaknya tidak lagi bertemu dengan Laisa.
"Nanta."
Panggilan itu membuatnya harus menghentikan langkah kakinya. Ia menolehkan kepalanya ke arah samping. Menatap sosok gadis dengan balutan dress berwarna kelabu yang tengah berdiri di pelataran parkir toko. Gadis itu berjalan mendekatinya.
"Lo mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Oliv."
"Ya?"
Nanta melirik ke arah mobil yang terparkir. Kemudian merogoh saku celananya dan memberikan selembar kertas note berisikan alamat rumah pada Olivia. "Bisa antar saya ke tempat ini?"
Dengan seksama Olivia memperhatikan deretan tulisan khas tangan Nanta. "Sekarang?"
"Ya."
"Tapi lo mau ngapain ke tempat ini?"
"Kamu tahu?"
"Iya. Gue kecil di sana."
Sejenak Nanta termangu, takjub. "Kebetulan." Ia tersenyum pucat.
Olivia mengernyit. "Lo sakit?"
"Dari dulu." Gadis di hadapannya menghela. Lalu berjalan mendekati mobilnya dan memberikan tumpangan pada Nanta.
"Kenapa lo mau ke sana?" tanya Olivia ingin tahu. Dan baru kali ini Nanta menyaksikan sikap Olivia tidak sedingin dulu. Ia pun mulai menjalankan mobilnya.
"Ada urusan sebentar," jawab Nanta sekenanya. Tidak mungkin jika ia bercerita semuanya pada Olivia mengenai dirinya yang ingin memusnahkan segala cerita.
Menyimpan kenangan terlalu lama memang cukup sensitif. Terutama bagi hati yang sedang berusaha pulih dari keadaan perih.
"Oh iya, gue nggak bisa nunggu lo."
"Nggak apa-apa. Santai aja."
Hening. Olivia yang dingin memilih diam dan melakukan kewajibannya untuk membantu teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...