Ig: @Anantapio26_
Malam yang hening sudah berlalu begitu saja, menghampiri fajar dengan sayup-sayup suara embusan angin yang menabrak ranting-ranting kering. Wajah sayu dari seorang anak yang begitu ia sayangi masih menjadi objek utama dari tatapan kedua netranya. Bapak mendekap kedua tangan di dada dan terus berdiri di samping Nanta. Malaikat kecilnya masih nampak pulas, sedang dirinya tidak ada sedikitpun selera untuk tidur. Rupanya efek sedikit kafein dari kopi hitam cukup kuat untuk menghambat sekresi melatonin dalam tubuh dan menemaninya selama berjaga semalaman.
Suara rintihan kecil terdengar. Tangan dari malaikat kecilnya terlihat bergerak-gerak mengusap sisi dadanya yang terpaksa harus dilubangi untuk mengeluarkan mukus. Bapak bergerak mendekat, ia ingat dengan efek kolaps paru-paru saat terkena suhu udara dingin akan membuat penderitanya merasa ngilu.
"Ananta, sakit ini hanya sebentar. Karena Bapak ndak akan membiarkan kamu kesakitan lebih lama. Bapak janji," bisik Bapak memeluk tubuh kurus putranya.
Kedua bola mata Nanta terbuka. "Bapak," lirihnya.
Bapak menegakkan tubuhnya, tangannya bergerak mengusap-usap puncak kepala Nanta.
"Bapak sejak kapan ada di sini?" interogasi Nanta tidak peduli dengan rasa sakitnya.
"Baru saja."
Sebenarnya Nanta bingung dengan pekerjaan Bapak yang sekali-kali menjadi tukang kuli bangunan, tukang sol, bahkan pernah berjualan bakso. Tanpa memedulikan rasa sakitnya Nanta bangkit untuk duduk bersandar pada kepala bangsal. Entah apa yang ingin ia obrolkan pada Bapak, mendadak semuanya terasa kaku.
Bapak berdeham pelan. "Kamu masih berhubungan dengan gadis itu?"
Nanta mengangguk.
Bapak menarik napasnya. "Bapak tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hubunganmu dengan gadis itu, tapi Bapak ingin kamu melepasnya."
Nanta hanya diam tidak memberi reaksi apa pun. Ia ingin Bapak mengerti bahwa melepaskan tidak semudah meraih.
"Bapak juga ingin supaya kamu lebih fokus pada pengobatanmu."
Nanta hanya mengangguk saja. Tangannya masih mengusap-usap sisi dadanya yang sepertinya membengkak. Rasanya begitu ngilu, lebih dari apa pun. "Caraku mencintainya salah ya, Pak?" tanyanya setelah beberapa saat memilih diam.
"Suatu saat nanti, pasti kamu menemukan jawabannya. Untuk sekarang, Bapak harap kamu bisa belajar melepaskannya pelan-pelan sebelum akhirnya semakin sulit."
"Tapi aku cuma mau dia."
"Dunia itu luas, Ananta. Akan ada banyak dia di luar sana."
"Ndak semudah itu, Pak."
"Sudah, sebaiknya kamu istirahat. Bapak mau mengembalikan cangkir kopi dulu," pamit Bapak sebelum beranjak.
Nanta mengangguk lagi. Lalu menatap kepergian Bapak.
Kamu
Kian hari kian menjadi bayang-bayang
Kemudian hilangKamu
Yang kurasa rumah
Rupanya hanya sekedar tempat 'tuk singgahKamu
Kuberi tahu kamu
Bahwa semesta tidak akan pernah setuju🐟🐟🐟
Kapan kita bisa bertemu?
Satu pesan itu meluncur lalu membuat suara dering sukses mengundang perhatian kedua orang tuanya, terutama Oma yang begitu menjunjung tinggi norma kesopanan. Wanita tua itu langsung memperingati cucu perempuannya. Laisa hanya mampu meringis penuh sesal. Setelah selesai sarapan, ia bergegas naik ke loteng di lantai tiga. Ia ingin tahu apa isi pesan yang Nanta kirimkan sampai sepagi ini. Ia tahu itu Nanta, karena dering ponselnya selalu di khususkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/219462314-288-k859244.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...