Ig: @Anantapio26_
Sekarang giliran Nanta dan Bobi untuk melaksanakan tugas piketnya, yaitu mengembalikan puluhan buku modul pembelajaran ke perpustakaan. Pandangannya ia lepas ke arah langit yang nampak tak sanggup lagi menahan beban beratnya. Ia pun meminta Bobi untuk mempercepat langkahnya. Karena dalam hitungan ke lima hujan akan turun dengan begitu deras. Dan benar saja apa yang dikatakannya.
Ah, bukan. Nanta bukanlah si peramal hujan. Ia hanya senang mengira-ngira apa yang akan terjadi di depan matanya dalam waktu lima detik. Seperti saat itu, ia ingat dengan Dimas dan Arya yang jika sedang bercanda bisa melebihi kegilaan dari orang gila sungguhan. Ia pun menerka, jika dalam waktu lima detik Arya akan habis oleh Dimas. Dan benar saja apa yang sedang Nanta pikirkan terjadi. Tanpa segan Dimas menarik kedua kaki Arya dan mengikatnya pada tiang saka di depan kelas dengan dasi yang dipakainya. Mengingat kegilaan dari kedua sahabatnya, Nanta tertawa sendiri sampai membingungkan Bobi yang ada di sebelahnya.
Langkahnya pun sampai di dalam ruang perpustakaan. Ia bersama Bobi menyambar meja resepsionis untuk mengembalikan buku-buku itu. Tiba-tiba lampu mati begitu saja. Tak lama kemudian terdengar suara guntur yang menggelegar keras dan saling bersambar-sambaran. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara jeritan penuh ketakutan dari seorang gadis di sudut ruangan.
Rasanya Nanta tahu dengan gadis yang menjerit sekeras itu. Ia pun beranjak menghampiri gadis itu yang rupanya tengah bersembunyi di bawah kolong meja. Nanta berjongkok di hadapannya, merangkul tubuhnya yang tengah gemetaran.
"La. Laisa."
Gadis itu masih nampak ketakutan dengan kedua tangan memeluk bukunya sekaligus menutupi matanya rapat-rapat.
"La," panggil Nanta sekali lagi. Ia pun merengkuh Laisa dengan hangat. Meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Udah, La. Nggak usah takut lagi. Ada aku," ujar Nanta.
"Aku takut." Laisa menangis dalam rengkuhannya.
Suara petir terdengar menyambar lagi. Sontak membuat Laisa terhentak dan segera memeluk Nanta dengan begitu erat.
"Hei, La. Nggak apa-apa. Nggak perlu takut. Ada aku di sini." Tangannya menangkup pipi Laisa, mengangkat wajahnya yang memerah penuh rasa takut.
"Percayalah, aku akan selalu ada buat kamu."
Laisa mengangguk. Kedua tangannya pun semakin erat memeluk Nanta.
"Udah, ya? Nggak perlu takut lagi."
Laisa percaya itu. Ia menyeka air matanya. Dan Nanta, laki-laki itu menatapnya dengan dalam. Seakan tengah memastikan bahwa Laisa tidak apa-apa. Sekarang, ia tidak butuh bukti apa pun. Karena melalui tatapannya, Laisa sudah tahu betapa tulusnya perasaan Nanta untuknya.
Nanta membantu Laisa untuk bangkit. Kemudian mendudukkan gadis itu pada bangku kosong di sebelahnya.
"Lala nyari buku apa?" tanya Nanta merasa heran. Yang lain sedang berada di kelasnya masing-masing, sedangkan Laisa malah sibuk sendiri di perpustakaan.
Panggilan itu membuat Laisa merasa kembali menjadi dirinya sendiri. "Soal-soal olimpiade geografi," jawab Laisa.
Nanta menghela sejenak. "Sebentar, ya?" Ia pun berlalu menuju rak buku deretan keempat dari tempatnya duduk. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa buku yang Laisa inginkan. "Yang ini?" tanyanya dan Laisa mengangguk.
"Makasih," ucap gadis di hadapannya.
Bobi berjalan menghampirinya. "Istirahat kedua lima menit lagi, nih. Makan bakso, yuk? Kayaknya enak, tuh," ajaknya tanpa berpikir panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Fiksi Remaja(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...