Ig: @anantapio26_
Sudah satu jam yang lalu sejak teman-temannya juga Laisa memilih untuk pulang, ruangan persegi dengan nuansa cat putih kembali dilingkupi sepi. Gema dari suara sepatu hight heels yang saling berketuk dengan lantai koridor terdengar semakin mendekat.
Lorong koridor yang gelap tampak kian mencekam dengan bayangan seorang wanita berdiri di balik pintu tepat saat terlihat cahaya kilatan saling menyambar langit malam. Tak lama gemuruhnya pun terdengar bersamaan dengan turunnya rintikan deras yang berjatuhan membasahi pelataran kota.
Nanta meletakkan gelas di genggamannya ke nakas tatkala melihat kenop pintu berputar. Rautnya tampak seksama menatap ke arah wanita yang perlahan menampakkan tubuhnya dari balik pintu yang dibukanya. Dress selutut berwarna merah menyala cukup kontras dengan ruangan remang yang hanya bermodalkan cahaya lampu dari luar.
Tangan Nanta terulur untuk menekan tombol saklar yang lantas menampakkan siapa sosok wanita di hadapannya ini. Wanita itu berjalan mendekat lalu mengeluarkan amplop cokelat dari tas yang tersampir di lengannya dan melemparkannya tepat ke atas ranjang.
Tatapan Nanta beralih pada amplop cokelat tebal lalu kembali menatap wanita itu. Dia diam, menunggu sepatah kata yang akan keluar dari sepasang bibir wanita di hadapannya.
"Pergi, bawa uang ini dan jangan pernah temui anak saya lagi," ujar Asri tanpa mau dibantah. "Saya tahu kamu banyak berkorban untuk anak saya. Jadi, ambil uangnya. Anggap saja itu sebagai bayaran menjadi bodyguard," lanjut Asri angkuh.
Nanta masih memilih diam.
"Atau masih kurang?" tanya Asri menaikkan dagunya.
"Maaf, saya tidak butuh ini," jawab Nanta. "Dan untuk Tante nggak perlu khawatir, tanpa diminta pun saya akan pergi."
Sejenak senyap menyelimuti keduanya. "Bagus," ucap Asri lalu menjeda kata-katanya. "Bila perlu saya akan bantu siapkan segala akomodasi yang kamu butuhkan. Asal dengan satu syarat, yaitu tidak menemui anak saya lagi."
"Sebelumnya saya berterimakasih, tapi itu tidak perlu. Saya bisa sendiri."
"Baik. Karena saya tidak akan pernah berkenan dengan kamu untuk menemui anak saya," tekan Asri lalu pergi dari tempatnya berdiri.
Nanta terduduk tepat di ranjang sampingnya. Lalu menjatuhkan tatapan kosong pada lantai putih di hadapannya. Ada perasaan berat yang teramat dan tengah menyelinap di antara relung serta nadinya. Meronta kuat seakan menunjukkan ketidaksetujuannya atas keputusan Nanta.
Angin dingin merayap di udara, menerpa tanpa suara. Sedang, bunyi retak terdengar di detaknya yang perlahan berserak. Kepalanya tertoleh ke arah pintu saat seseorang menampakkan tubuhnya di ambang pintu.
"Oliv?" panggil Nanta pelan.
"Sorry, tadi gue sempat nguping pembicaraan lo sama nyokapnya Laisa," jujur Olivia sambil melangkahkan kakinya mendekat. "Tau gak, Nan? Sekarang lo diibaratkan lagi bertarung melawan seisi semesta dengan ketidakmungkinannya."
Nanta mengangguk. Tangannya terulur menarik tubuh Olivia dan memeluknya. Lalu menenggelamkan wajahnya di balik bahu Olivia seraya menyenyapkan isak kecil yang lolos di antara bibirnya. Napasnya menyesak berpadu dengan buru dada yang kian berdebar pilu.
"Nan, hidup lo masih jauh lebih beruntung dari gue. Harusnya lo bersyukur karena itu."
"Masalahnya saya bingung bagaimana cara melepas Laisa tanpa harus menyakitinya?"
"Nggak ada perpisahan yang nggak menyakitkan, Nan. Selembut apapun kata-kata perpisahan itu."
"Saya nggak mau menyakitinya, apalagi untuk ke sekian kalinya, Oliv."
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...