Ig: anantapio26_
Happy reading :)
Tangannya memutar keran lalu membasuhkan air ke luka-luka di pelipis dan lehernya. Kemudian melepaskan kemeja putih yang dipakainya untuk membersikan bercak merah yang menodainya.
Nanta terdiam saat tanpa sengaja netranya menangkap sisi lain dari dirinya yang terpantulkan dengan jelas di cermin. Kedua sorot tajam dari kedua matanya seakan menjelaskan sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Tanpa sadar tangannya terkepal keras. Rasanya ia sudah begitu payah selalu menggoreskan luka-luka di hati kecil Laisa dan sialnya semua itu selalu ia lakukan dalam keadaan sadar dengan dalih ingin membantu orang lain.
Memang tidak seharusnya Agam sampai mendonorkan paru-paru untuknya. Nanta terduduk, menyandarkan tubuhnya yang lemas pada tembok di belakangnya. Ia menelungkupkan wajahnya untuk menyembunyikan hujan deras yang sepertinya mulai memaksa untuk turun. Sungguh, di titik seperti ini ia merasa begitu kalut.
"Nanta." Suara Dimas terdengar cemas. Ia segera menghampiri Nanta yang masih menelungkupkan wajahnya.
"Nan, siapa yang bikin lo kayak gini?" susul Arya dengan rasa penuh khawatir yang dicampur adukkan dengan tanda tanya.
Nanta menggeleng pelan. Lalu mengangkat wajahnya hingga mampu menampakkan kedua matanya yang memerah menahan hujan di pelupuknya. Ia menarik napas.
"Siapa, Nan?" tanya Arya lagi dengan air mukanya yang berubah.
"Apa Jonathan yang bikin lo kayak gini?" tambah Dimas menggebu dan paling siap untuk membalas semuanya.
Nanta menghela pelan dan menggelengkan kepalanya lagi. "Udah, Mas. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa," jawab Nanta memilih pasrah. Mungkin ini sudah waktunya untuk berserah.
"Jadi Jonathan yang bikin lo kayak gini?" tanya Arya menyimpulkan. Ia segera bangkit dari tempatnya, namun pergerakan tangan Nanta lebih cepat untuk menahannya.
"Udah, Ar. Cukup. Kalau memang Alfan bisa jadi yang terbaik untuk Laisa saya akan belajar untuk melepaskannya," tahan Nanta yang merasakan pikirannya begitu kacau.
"Bukan itu, Nan. Gue nggak terima sama cara mereka ngelakuin ini sama lo." Arya nyaris menggertak. Namun untunglah ia masih bisa menahannya.
Tangan Nanta yang menjulur menarik ujung kemeja Arya semakin meremasnya kuat. Kemudian ia menjatuhkan tubuhnya untuk memeluk kedua kaki Arya.
Arya yang tengah berdiri kembali melipat kedua lututnya. Ditatapnya Nanta yang malah semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukannya. "Sudah, cukup. Cukup Agam yang berkorban sampai seperti ini. Saya nggak mau lagi kehilangan," lirih Nanta. Terdengar isak kecil yang tertahan dari napasnya.
Dimas bangkit kemudian memeluk kedua sahabatnya. "Agak aneh, sih, pelukan kayak gini di kamar mandi," ujarnya.
***
Sudah sejak lima belas menit yang lalu pekerjaan Arya hanyalah memetik gitar. Dari seluruh makhluk hidup, sepertinya Arya termasuk ke dalam golongan mamalia gabut.
"Tak seharusnya aku kehilanganmu
Tak seharusnya aku merindu
Biarkan aku pergi, melawan hati
Terpuruk dan hancur tanpamu."Potongan lirik lagu yang Arya bawakan sukses membuat tangan Dimas melayang untuk menoyornya. Dimas melirik ke arah Nanta yang sedari tadi hanya duduk sambil memeluk ke dua lututnya. Entah sudah berapa kali Nanta mendesis kemudian berdecak sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...