AX 88 - I'm come

115 18 14
                                    

Ig: @Anantapio26_

Kepulangan Laisa dari sekolah disambut hangat oleh sang Mama yang lantas tersenyum lebar tatkala melihat Alfan berjalan mendekat. Lantas berbasa-basi tanpa melihat betapa malasnya Laisa jika cowok itu masih berlama-lama berada di rumahnya.

Alfan menyapa Mama dengan sopan. Sapaannya justru membuat Laisa semakin muak dengan sosoknya. Ia pun memilih untuk berjalan duluan menuju kamar tanpa pamit. Biarlah, Mama mengomel. Lagipula bukankah memang sudah sejak dulu Mama selalu senang mengomel, apalagi saat merasa ada yang tidak sesuai dengan keinginannya?

Senyap, suara obrolan Mama dengan Alfan sepertinya sudah berhenti setelah tak berlangsung lama ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mungkin Alfan sudah pergi bersama deru mobilnya yang dibuat hening. Tangan Laisa terulur untuk menarik gagang pintu lemari dan mengambil pakaian ganti. Tanpa sengaja, lembaran foto itu berjatuhan. Foto dirinya bersama Nanta. Ia segera memungutnya. Dentuman di dalam dadanya kembali riuh.

Ah, rasanya kini hanya mampu untuk dijadikan kenangan. Kenangan? Mampukah ia mengenangnya? Sosok yang jelas-jelas masih dapat ia jumpai setiap pagi di sekolah. Meski rasanya mustahil untuk bisa saling bertukar cerita.

Tanpa suara ketukan, pintu terbuka lebar dan menampakkan wajah Mama yang sudah nampak memerah. Seperti tengah menahan amarah. Cepat-cepat Laisa pun bangkit dan berusaha menyembunyikan lembaran foto di tangannya.

"Mama." Ia terkejut bukan main.

"Tidak seharusnya kamu bersikap seperti tadi pada Alfan!" gertak Mama.

Ah, Laisa paham. "Aku nggak suka sama dia. Dia itu brengsek."

"Jaga mulutmu! Dia anak baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Tidak seperti laki-laki miskin itu yang tidak jelas bibit-bobotnya dari mana!" Mama nampak murka.

Suasana semakin menegang. Jujur saja, Laisa tidak terima Mama berkata buruk mengenai Nanta. "Nanta nggak seperti itu. Aku tau keluarganya."

"Jangan sok tahu! Orang tuanya mantan tahanan polisi, apa yang bisa kamu banggakan pada laki-laki miskin itu?"

"Seenggaknya Nanta nggak brengsek seperti Alfan, Ma."

"Laisa, jaga cara bicaramu! Memangnya Mama mengajarimu untuk seperti itu?!"

"Aku benci cara Mama memandang orang lain! Aku benci! Padahal kaya atau miskinnya seseorang sudah menjadi kehendak Tuhan."

Tamparan keras mendarat tepat di pipi Laisa. Rasa sakit, panas, perih bercampur menjadi satu. Dengan langkah kakinya, ia melesat pergi dari hadapan sang Mama. Tak peduli dengan wajah Mama yang nampak menyesal setelah menamparnya.

Langkah kakinya mengayun cepat. Berlari entah ke mana tujuannya. Yang pasti ia ingin seseorang datang untuk memeluknya. Lantas membantunya untuk pulih dari keadaannya saat ini.

Tanpa sadar, langkahnya sudah sangat jauh dari rumah. Laisa tersadar saat dirinya berdiri di sebuah tempat sunyi, gelap dan begitu menakutkan. Sebuah bangunan tua dengan dinding rapuh penuh dengan coretan. Cepat-cepat ia mencari jalan keluar dari tempat mengerikan itu. Kembali melangkahkan kakinya hingga berjam-jam lamanya.

Menghela lelah, Laisa mendudukkan dirinya. Menelungkupkan wajahnya dan kembali menangis tertahan. Sakit. Mendadak, seseorang itu hadir di antara kesedihannya. Nanta, laki-laki itu hadir mengisi rongga benaknya. Dengan cepat, jemari Laisa bergerilya untuk menghubunginya.

"Nan." Laisa berusaha kerasa agar suaranya terdengar baik-baik saja. Namun sayang, ia gagal. Suaranya yang parau lantas pecah bersamaan dengan tangis yang ia tahan sekuat-kuatnya.

"Kenapa, La?" Terlebih saat pertanyaan itu menyentuh gendang telinganya.

"Di mana?"

Hening. Sepertinya laki-laki itu sedang mengambil jeda. "Di jalan," jawabnya kemudian.

"Lama?"

"Entah. Kenapa emang?"

Ia terdiam. Berharap Nanta datang sesegera mungkin.

"La?" Suara itu kembali menyentuhnya.

"I need you. Please come here, now." Sepenuh hati, Laisa memohon agar Nanta datang secepatnya.

Terdengar suara desahan napas panjang di seberang sebelum sebuah pertanyaan terlontarkan untuknya, "Kamu di mana?"

Laisa tidak langsung menjawabnya. Ia memutuskan sambungan telepon sepihak, lantas segera mengirimkan tanda lokasi dimana tempatnya berada. Sampai beberapa menit, ia memilih diam untuk menetralkan segala perasaannya yang mulai tak keruan, sebelum akhirnya kembali menelpon Nanta. Jujur saja, ia butuh akan sosoknya dan akan selalu begitu.

"Nan," panggilnya gemetar saat panggilan teleponnya sudah terangkat.

Laki-laki itu diam.

"I need you, please." Laisa kembali memohon agar Nanta datang.

Panggilan berakhir diikuti dengan tangisan yang kembali pecah. Ah, betapa sialnya. Otaknya bekerja dengan menampakkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Seperti, Nanta yang sudah enggan untuk kembali atau mungkin hal yang lebih dari itu.

Laisa menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Masih terus menangis dengan perasaan resahnya yang dibiarkan pasrah. Namun, "Laisa?" Suara itu muncul.

Laisa tidak yakin dengan kedatangan Nanta.

"La." Rupanya benar. Nanta benar-benar datang, terbukti dengan kedua tangannya yang terulur untuk memeluknya. "I'm come," bubuhnya.

Seketika rasa aman yang telah lama ia rindukan hadir. Lantas diraihnya tubuh Nanta. Ia pun kembali menumpahkan sisa tangisnya. Menumpahkan segala rasa sakitnya. Terlebih saat ia harus mengingat Mama yang telah menamparnya.

Laisa berhenti menangis saat tersadar Nanta datang tidak sendiri. Melainkan bersama dengan gadis lain yang bernama Olivia. Gadis itu tengah berdiri tepat di belakang tubuh Nanta.

"Um ... sorry, gue bisa anter lo pulang," tawar gadis itu kemudian.

"Ayo, La," tambah Nanta.

Namun, Laisa diam dengan kedua bola mata tertuju lurus menatap Nanta. Ada rasa sakit lain yang menyelinap masuk ke dalam nadinya. Rupanya ada banyak hal yang selama ini tidak ia ketahui mengenai Nanta, mengenai siapa yang kini dekat dengan laki-laki di hadapannya, mengenai apa saja yang dilakukan Nanta juga yang menjadi kebiasaan barunya.

"La, are you okay?" tanya Nanta menyadarkan lamunannya.

"No," jawab Laisa jujur. "Aku kabur dari rumah." Padahal bukan itu yang ingin ia katakan, melainkan perasaan cemburunya yang sudah tidak lagi bisa berarti apa-apa lagi.

"Kenapa, La? Papa kamu pasti cemas." Laisa bersyukur, masih dapat menjumpai kepedulian Nanta untuknya.

Ia menggeleng. Lalu menunduk dalam-dalam dan kembali menangis tanpa suara.

"Um ... gue ke mobil dulu," pamit Olivia merasa begitu canggung. Ia pun segera berlalu.

"La, hei," panggil Nanta tangannya bergerak untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

"Ternyata ada banyak hal yang aku nggak tau dari kamu." Laisa tertawa hampa.

"La, semua itu nggak penting. Aku masih sama dengan keadaanku seperti saat terakhir kita bersama. Yang berbeda, sejak saat itu hanya saja udah nggak ada kamu. Dan aku harus terbiasa akan hal itu."

"Begitu?"

"Sayangnya, aku nggak pernah bisa benar-benar terbiasa nggak ada kamu." Nanta nampak menahan rasa sesak di dadanya. Ia pun terbatuk-batuk karena rasa sesak itu. "Dan satu hal yang harus selalu kamu tau, bahwa aku akan datang selama kamu memanggilku." Di peluknya gadis itu dengan erat.

Tbc...

Maapkeun kalo updatenya lama yauww heuheu :')

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang