Sabtu dini hari, 19 Oktober 2019. Selama dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing, kedelapan saudara itu masih terus berkomunikasi. Yanti Mengabarkan bahwa Deddy sempat dipanggil Widarto dengan isyarat "berdehem" ketika mengantarkan diapers ke perawat ICU. Deddy kemudian mendekati untuk pamit keluar ruang ICU.
Yanti bertanya-tanya kepada semua adiknya, apakah ayah mereka tadi bisa mendengar ketika mereka mengaji dan mendoakannya. "Insya Allah Mba," jawab Nico.
Ketika Shubuh tiba ...
Andar masuk ke ruang ICU dan melihat ayahnya tertidur dengan masker oksigen yang tetap terpasang. Tetapi alat pengganjal rahangnya sudah dilepas. Andar sempat membangunkan ayahnya untuk bertayamum dan sholat Shubuh. Tapi sebelum ayahnya bangun, Andar keburu diminta keluar oleh perawat ICU. Aturan memang sangat ketat di ICU, demi kesembuhan pasien dan kesehatan keluarga atau pengunjung sendiri.
Pukul 07:46 WIB. Fira check-in di bandara Haneda.
Pukul 09:19 WIB. Fira boarding. Untung saja penerbangannya menyediakan jaringan wifi sepanjang perjalanan, sehingga ia tetap bisa memantau kondisi ayahnya.
Pukul 11:18 WIB. Ria mengabarkan bahwa gula darah Widarto berada di level 284 mg/dL, tensinya 126 per 62 mmHg. Widarto juga menunjukkan respon yang baik ketika namanya dipanggil oleh dokter. Kendati demikian dugaan stroke belum bisa diabaikan. Akan tetapi Nico bersikeras bahwa infark di subkortikal lobus frontal kanan, periventrikel lateralis kiri, dan di kapsula interna kiri kornu posterior serta basal ganglia kiri adalah jejak infark yang lama dari beberapa kali serangan stroke sebelumnya. Kalau perkara atrofi serebri pada hasil CT-Scan, bisa jadi karena proses penuaan dan sejarah serangan stroke sebelumnya. Tapi Nico bukan dokter! Di keluarga itu yang berprofesi sebagai dokter hanya Rama dan Manda.
Pukul 14:33 WIB. Nico mengabarkan bahwa ayahnya masih kesulitan untuk berbicara tapi terlihat sangat ingin menyampaikan sesuatu. Sebaliknya, ia mudah memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicaranya. Sedangkan untuk menulis belum dimungkinkan karena edema di kedua lengannya.
Di saat Ria sedang dilanda perasaan khawatir jikalau ayahnya ingin menyampaikan suatu amanah kepada keluarga, Nico justru sibuk berpikir sendiri: "Jangan-jangan ini gejala aphasia karena atrofi serebri?"
Selepas maghrib akhirnya Fira dan Rilo tiba di rumah sakit. Perjalanannya dari bandara Soekarno Hatta ke RSPAD Gatot Soebroto berjalan cukup lancar, mungkin karena hari itu bukan hari kerja.
Fira diberi izin besuk oleh petugas jaga ICU meskipun waktu berkunjung telah usai, sehingga ia dapat menjenguk ayahnya yang sedang berada dalam keadaan sadar.
Ayah dan anak itu lebih banyak berkomunikasi dalam rasa. Tak banyak ucapan verbal yang terlontar dalam dialog.
Widarto seakan mendapat aliran energi kesembuhan setelah berjumpa dengan putrinya yang selalu tinggal jauh terpisah itu.
Fira pun nampak lebih tenang setelah keluar dari ruang ICU. Kekhawatiran terburuknya terlepas sudah, bersamaan dengan tertutupnya pintu kaca ruang ICU di belakang langkahnya malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERJUANGAN YANG BERBEDA
NonfiksiSebuah catatan tentang jejak dan nilai perjuangan tanpa cela, dalam rangkaian kisah kehidupan seorang pejuang mengejar tiga kemerdekaan yang diimpikannya. Saat ini Anda sedang membaca Buku Kelima yang mengisahkan tentang perjuangan lain yang harus d...