Sabtu, 2 November 2019. Pagi itu Andar melihat ayahnya dalam kondisi sadar, dan bisa memberi respon kendati bicaranya tetap belum terlalu jelas.
Menjelang siang tensi Widarto tercatat di 97 per 71 mmHg, dengan denyut nadi yang sangat fluktuatif bergerak dalam rentang 80 hingga 200 kali per menit. Ventilator nampak terhubung lagi dengan katup tracheostomy.
Hasil laboratorium klinik menunjukkan hemoglobinnya sudah naik menjadi 10,9 g/dL. Saat itu Widarto sedang diberi infus paracetamol untuk meredakan demamnya yang mencapai 39 derajat Celcius. Tubuhnya masih terlihat sedikit menggigil.
Ada kekhawatiran yang tersirat di raut muka Faika, besan Widarto yang siang itu terpaksa menggunakan layanan Grab, karena sopirnya sedang absen harus mengurus istri yang juga sedang berada di ICU sebuah rumah sakit di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Hari itu Terry, keponakan Widarto, datang terlalu dini padahal jadwal besuk sore baru dibuka pukul 17:00 WIB. Akhirnya dia habiskan waktu dengan mengunjungi bazar di halaman parkir rumah sakit sambil menunggu jam besuk dimulai.
Yanti siang itu beberapa kali melihat ayahnya tersenyum sendiri. Senyuman seperti yang pernah disaksikan oleh Nico dan Fira lima hari yang lalu, penuh keikhlasan hingga membuat garis rupawan wajah ayahnya semakin menguat.
Pukul 15:43 WIB tiba-tiba Nico mengirim pesan kepada Fira melalui WA, "Fir kuotanya tinggal 48 jam lagi."
"Gak mau mundur lagi pulangnya Fir?" tulis Nico menuntut jawaban.
"Pengennya," jawab Fira dengan emoticon bercucuran air mata.
"Ayah bilang badannya terasa pegel tadi," tambah Fira.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERJUANGAN YANG BERBEDA
Literatura FaktuSebuah catatan tentang jejak dan nilai perjuangan tanpa cela, dalam rangkaian kisah kehidupan seorang pejuang mengejar tiga kemerdekaan yang diimpikannya. Saat ini Anda sedang membaca Buku Kelima yang mengisahkan tentang perjuangan lain yang harus d...