t w e n t y t h r e e

1.3K 264 76
                                    

Masih di hari yang sama, seharusnya setelah pulang sekolah Joy pulang menuju rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih di hari yang sama, seharusnya setelah pulang sekolah Joy pulang menuju rumahnya. Tapi kali ini tidak. Ia berada di sebuah halte bus yang sepi di mana langit sudah gelap. Sudah hampir tiga puluh menit gadis itu hanya melihat mobil dan juga motor yang berlalu-lalang dan mendengar suara klakson kendaraan.

Gadis itu menikmati hiruk pikuk jalan Ibu Kota dengan pandangan yang kosong dan hati yang terasa berat. Dengan kotak P3K yang diberi oleh Jeno yang kini berada dalam pangkuannya, kepala gadis itu menunduk untuk melihat kakinya yang berpijak pada bumi.

"Lho, Joy? Kok jam segini masih di sini? Baru pulang sekolah?"

Suara wanita yang tak asing membuat Joy mendongakkan kepalanya dan melihat Irene yang mengenakan heels tiga sentimeter dengan pakaian kantornya yang rapi. "Kak Irene? Aku bar—"

"Astaga itu wajah kamu kenapa coba! Habis jatuh? Eh kok belum diobatin?" tanyanya seraya memegang dagu wajah cewek itu dengan lembut.

Tanpa menunggu jawaban dari Joy, kini pandangan wanita itu teralih pada kotak P3K yang berada dipangkuan Joy dan mengambilnya. Ia pun mendaratkan bokoknya disamping Joy dan membukanya. "Ini harus cepet-cepet diobatin. Nanti infeksi kena debu."

Irene pun perlahan mengobati luka yang berada di pipi gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu. "Sakit banget ya? Kok bisa sih sampe jatuh kayak gini?"

"Bukan jatuh. Habis gelut sama setan," sahut Joy yang membuat Irene terkekeh kecil.

"Setan mana yang berani gangguin bidadari?"

"Ada. Manusia yang kelakuannya kayak setan."

"Setan mah nggak usah ditanggapin. Didoain aja biar cepet musnah," balas Irene yang masih mengobati Joy perlahan.

"Ayat kursi juga nggak mempan sama dia." Joy tampak seperti anak yang sedang mengadu pada Ibunya terlebih raut wajah gadis itu yang ditekuk kesal.

Kini, Irene beralih pada luka yang berada di sudut bibir Joy. "Kamu beneran habis berantem ya? Aku pikir boongan."

Joy mengangguk sekilas yang membuat Irene mengerutkan dahinya bingung. "Ada apa emangnya?"

Joy masih terdiam dan enggan menjawab. Gadis itu malah memainkan kakinya yang berpijak pada bumi yang membuat Irene menghela napas. Detik-detik sunyi menyelimuti mereka namun akhirnya Irene kembali memanggilnya, "Joy," panggilnya lembut seperti layaknya seorang Ibu yang memanggil anaknya.

"Someone talking shits about my parents," jawabnya dengan kepala yang masih menunduk—menatap kakinya yang terbalut oleh sepatu sekolahnya untuk menghindari kontak mata.

"Your parents must be proud to have a daugther like you." Mendengar perkataan Irene membuat Joy tersenyum pahit.

"Justru mereka malu punya anak kayak aku. Nggak punya prestasi tapi cuma bisa bikin masalah di sekolah." Sungguh, perkataan yang dilontarkan oleh Sulis—Kepala Sekolahnya saat di sekolah tadi masih melekat dalam pikirannya dan terus menghantui pikiran gadis itu yang membuatnya merasa sangat terbebani dan terluka.

We Used To Be A FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang