Special Chapter I

1.2K 188 173
                                    



Test ombak dulu~
Masih ada orang kah di sini? 😌
Terima kasih karena masih menyimpan cerita ini di library!🦋

Jangan lupa tinggalkan jejak selagi menikmati special chapter ini ya!

Happy reading! 🌻💚

✧・゚Special Chapter ・゚✧

───── ❝𝑺𝒖𝒂𝒓𝒂 𝑫𝒂𝒓𝒊 ❞ ─────

Selamat kembali menikmati
luka lama...

───── ❝ 𝙅𝙚𝙣𝙤 𝘿𝙝𝙞𝙧𝙚𝙣𝙙𝙧𝙖 ❞ ─────

Aku sudah pernah mengecap rasa getir yang terasa sangat pahit hingga menusuk relung sukmaku. Rasanya sangat sakit hingga melumpuhkan perasaanku. Semesta merampas sahabatku bersama elegi yang meluluhlantakan jiwa-jiwa yang ditinggal.

Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang merasa kehilangan. Masih ada jiwa-jiwa lain yang merasakan nestapa yang jauh lebih berat dariku. Tapi ini adalah suaraku.

Suaraku, Jeno Dhirendra yang terjebak dalam ruang tinggi dan lengang, yang bercerita tentang sukma yang lumpuh.

Aku mungkin terdengar seperti pria melankolis yang memiliki jiwa yang lemah, tapi sungguh, aku belum sanggup melepaskannya. Seperti saat ini, ditemani suara detik jam kelas yang terus bergerak, ragaku berada di kursi pojok kelas—posisi yang sama seperti empat tahun lalu, ketika matahari masih berada di sampingku.

Tepat saat aku selesai sidang sarjana strata satu, jiwaku mengantar ragaku hingga aku terduduk di bangku kelas. Berkat kaki jenjangku yang memanjat tembok belakang sekolah, aku berhasil masuk menyelinap ke dalam kelas. Maklum, gerbang sekolah sudah ditutup dari jam empat sore.

Tak ada seorang pun di sini. Hanya hawa dingin yang menyusup kulit dan aroma hujan yang terbentur dengan tanah menusuk hidungku. Namun, izinkan aku beristirahat sejenak di sini, bermain dengan jiwa dan alam pikirku.

Aku memang menyayanginya melebihi aku menganggapnya sebagai seorang teman. Aku mengganggapnya sebagai lentera yang menemaniku di gelapnya malam yang sunyi. Melalui dia, aku memahami banyak hal. Memahami bahwa berdamai dengan masa lalu dan kesalahan, adalah proses dari menyembuhkan luka dan tumbuh menjadi jiwa yang kuat

Aku dan dia memang bukan sepasang kekasih, walau dari lubuk hatiku yang dalam, aku sempat ingin menginginkan lebih. Namun keinginanku, tergantikan dengan pilihan untuk tidak egois dan mengerti perasaannya. Aku lebih ingin menjadi sosok yang ia butuhkan, yakni seorang sahabat.

Dan yang aku tahu dengan pasti, dia juga memiliki perasaan yang sama. Ah, aku jadi teringat saat itu, di mana hanya semesta yang menjadi saksi perihal dia menyinggung soal perasaannya. Ini tepat terjadi saat aku dan dia berada di rumah Kak Wendy atau tepatnya, pagi di saat aku membangunkan dia untuk sarapan.

"Je, lo tahu nggak, kenapa gue nggak bisa menganggap lo lebih dari teman?" Aku terdiam. Memang sebelumnya aku pernah menyinggung perihal perasaanku yang selama ini terpendam. "Karena gue cuma badai yang menyisakan luka, sedangkan lo itu...seperti pohon teduh yang memberi kehangatan dan menenangkan jiwa. Lantas, bagaimana kita bisa melebur menjadi satu?"

"Gue sayang sama lo, Je. Tapi kita berbeda," lanjutnya yang sebenarnya membuatku cukup senang mendengar ungkapannya, namun aku masih tidak mengerti. Semuanya masih abu-abu.

"Kenapa lo nganggep diri lo badai? Gue nggak nganggep gitu," tanyaku dengan hati-hati.

Matanya memilih menatap dinding kamar yag keruh karena enggan menatapku. "Gue memang badai. Gue bakalan menyisakan luka bagi orang-orang di sekitar gue."

We Used To Be A FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang