Aroma nasi goreng menyambut pagi wanita karir yang kini sudah rapi menandakan ia siap untuk berangkat kerja. Irene memberi senyuman hangat pada Arnold—Ayahnya yang terlihat tengah menyiapkan sarapan.
"Maaf ya, Pa. Jadi Papa yang masak," cicit Irene yang mengundang kekehan kecil dari Arnold.
"Nggak papa. Papa udah lama nggak bikinin sarapan buat kamu," balasnya sedangkan Irene terlihat menyiapkan piring untuk dirinya dan Arnold.
"Oh iya, gimana kemarin perasaannya jadi kakak untuk pertama kalinya? Joy baik-baik aja di sekolah?" tanya Arnold yang penasaran karena Irene belum sempat menceritakan dengan detail. Ia hanya menceritakan perihal pertengkaran yang terjadi pada Joy hingga harus menerima skorsing.
"Perilaku dia di sekolah nggak mencerminkan murid teladan. Dia sering melanggar peraturan sekolah kayak bolos, dateng telat, bahkan tatoan. Aku cukup kaget pas dengarnya sih."
"Menurut Papa ya, biasanya anak yang modelan kayak gitu pasti punya alasan yang ngebentuk dia jadi pribadi seperti itu. Bisa jadi dia mencari perhatian atau karena dia nggak nyaman sama lingkungan sekolahnya." balas Arnold seraya memberi piring yang sudah berisikan nasi goreng buatannya pada Irene.
Irene mengangguk seraya menyantap sesendok nasi goreng itu. "Itu dia! Sesuai dengan penjelasannya, dia merasa tersiksa dengan lingkungan sekolah jadi buat dia nggak nyaman. Bahkan dia juga kehilangan teman-temannya. Dia hidup sendirian di sekolahnya tanpa sosok teman yang membuat harinya terasa sulit kalau harus lama-lama di sekolah."
Dengan tangan yang masih sibuk menyiapkan makanan, Arnold pun sempat termenung sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Anak kayak Joy harus banyak-banyak diperhatiin. Terlebih kita nggak tau kehidupan dia di rumah. Sesuai dengan cerita kamu perihal bos kamu yang benci sama Joy aja membuktikan bahwa kehidupan di rumah mungkin bikin dia nggak nyaman juga."
Irene mengangguk setuju namun Arnold masih ingin melanjuti ucapannya. "Rene, anak modelan kayak dia terlebih di umur masih begitu, rentan banget buat pengen bunuh diri." tukas Arnold.
Irene pun termenung. "Aku nggak kepikiran sampe situ, Pa. Tapi...bener juga."
Arnold tersenyum. "Kamu baik-baik ya sama dia."
"Pasti! Aku bakalan jadi sosok kakak pengganti si Bos jahat itu."
Arnold mengangguk setuju seraya mengacak-acakan rambut anak perempuannya. "Eh, kayaknya Papa masak nasi gorengnya kebanyakan. Nasi gorengnya sekalian dibikin bekel buat makan siang aja, mau?"
"Aku makan siang sama klien hari ini, Pa. Papa aja yang makan."
"Yah, Papa juga ada urusan siang ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
We Used To Be A Family
Fanfiction[ • read at your own risk • ] [Harap follow terlebih dahulu sebelum membaca.] 🦋 c o m p l e t e d 🦋 trigger warning; mental issue suicide toxic self injury murder ❞ What's your favorite candy? ❞ ...