POI 51 - Kisah Sejak Itu

36 9 1
                                    

Aditya's POV

Sosok ibu begitu kuat mempengaruhi pembentukan sikap masa kanak-kanaknya, Satria dan teman dekatku yaitu seorang Presiden Indonesia pertama mengatakan hal itu berkali-kali kepada diriku tetapi semua yang mereka katakan itu cukup bertentangan dengan apa yang aku lihat karena Ibuku selalu saja memperlakukan diriku dengan buruk.

"...Aku tidak punya apa-apa di dunia ini selain ibuku, aku melekat kepadanya karena ia adalah satu-satunya sumber pelepas kepuasan hatiku," itu yang dikatakan oleh dekatku, kata-katanya sungguh menyentuh hati siapapun bahkan diriku yang tidak memiliki tujuan apapun kecuali berjuang.

Sebagai anak yang hidup di kota kecil seperti Blitar, hiburan satu-satunya baginya adalah dongeng sang ibu tentang kepahlawanan leluhurnya melawan penjajahan Belanda, Satria juga sama tetapi dia lebih menyukai ibunya karena terlalu lembut bahkan bisa dijadikan sebagai sumber penyemangat untuk dirinya sendiri.

"Ibu selalu menceritakan kisah-kisah kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk di dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah-kisah yang menarik tentang pejuang-pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami," katanya, Satria dan teman dekatku selalu saja mengatakan hal yang sama kepadaku.

Aku juga ingin merasakan itu, kisah yang selalu diceritakan oleh seorang ibu tetapi ibuku tidak begitu mengetahuinya dan Ayahku sendiri tidak pernah pulang, hanya Satria dan teman dekatku saja yang mau menceritakan tentang kisah kepahlawanan yang terjadi sejak dulu sekali, mereka benar-benar teman berharga untuk diriku.

Aku dan Satria mendapatkan ilmu pengetahuan yang begitu luas dari Ayah teman baik kita yang begitu hebat, ayahnya adalah guru yang keras yang selalu mengajari kami membaca dan menulis tanpa kenal lelah walau berjam-jam lamanya. Kita terus menghafal apa yang disebutkan oleh beliau, jasanya sebagai guru memang hebat sampai kami selalu datang untuk belajar.

Tak kalah menariknya adalah cara teman dekatku merefleksikan siapa dirinya sebagai seorang anak bangsawan yang terpanggil untuk memimpin rakyatnya, termasuk dengan Satria yang diangkat sebagai jenderal yang memimpin seluruh pasukan Indonesia untuk mengajak mereka menuju puncak kemenangan.

"Ibuku, asalnya dari keturunan bangsawan. Bapak asalnya dari keturunan Sultan Kediri... merupakan suatu kebetulan atau pun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa...pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan yang tiba-tiba. Aku mewarisinya," ujar temanku.

Entah kenapa aku dan Satria tidak pernah bosan mendengarnya, beliau memberikan banyak inspirasi untuk kami berdua. Mereka adalah cahaya penerang kehidupan untukku, aku ingin bisa berjuang dan menjadi sesosok laki-laki yang hebat dan bermakna seperti mereka walaupun tidak memiliki orang tua yang pantas.

Seperti biasanya hari ini di akhiri dengan penutup cerita yaitu matahari terbenam, Satria dan teman dekatku segera pergi meninggalkan diriku yang hanya bisa berdiri tegak di tengah lapangan dan senyuman pahit yang sudah terpasang.

Satria bisa menyadari diriku yang kesepian, ia sempat melihatnya bahkan teman dekatku menyuruh dirinya untuk datang dan menyemangati diriku yang tidak ingin pulang dan bertemu dengan kedua orang tuaku. Satria mulai memukul bahu kananku, mencoba untuk menyemangati diriku seperti biasanya.

"Oi, Aditya, kenapa diam saja disini? Tidak mau pulang ya...? Seperti biasanya, kita akan menghabiskan waktu bersama dengan membuat bambu runcing!" Ujar Satria, mencoba untuk menyemangati diriku dan aku hanya bisa mengangguk lalu mengikuti dirinya yang mengambil dua bambu yang cukup panjang.

Ia mulai memotong bambu bagian atas untuk menciptakan sebuah senjata hebat yang digunakan oleh seluruh pejuang ketika melawan penjajah, aku juga tidak menyangka ia menyimpan sebuah pisau di dalam sakunya itu, mungkin untuk berjaga-jaga ketika melihat seseorang yang jahat.

Pride of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang