KEMBALI

215 18 2
                                    

16.30

Sesuai janjinya, kini aku dan mas Alvin tengah berada di dalam perjalanan yang aku pun tidak tau tujuan nya akan kemana.

Tidak ada pembicaraan sama sekali semenjak kami berangkat. Hanya suara radio mobil saja yang berbunyi.

Mobil berhenti. Mas Alvin melepaskan seat belt nya. Dia mengambil kacamata hitam, dan memakainya.

"Turun."

Aku mengikuti keinginan nya. Aku turun dari mobil, dan mengikuti kemana langkah manusia itu.

"Loh, mau ziarah ke makam siapa?" batin ku

Kami berada di tukang bunga sekarang. Dia membeli bunga dua kantung plastik dan sebuah air mawar.

Setelah itu, mas Alvin kembali berjalan. Aku tidak tau kemana arah tujuannya.

Masuk lah kami ke sebuah komplek pemakaman. Aku tidak berani buka suara, aku sendiri masih bingung.

Sampai pada akhirnya, kami berhenti di salah satu tempat. Mas Alvin berlutut dan menyentuh nisan itu.

Khairunnisa Adelia Tribuana

Binti Aji Tribuana

Jakarta, 26 Januari 1997
Jakarta, 25 Januari 2019

Mas Alvin memberiku satu kantung plastik dan satu botol air mawar. Aku pun menaburkan nya.

Setelah menaburkan bunga dan menuangkan air mawar, kami berdoa untuk almarhumah.

Mas Alvin kembali mengusap batu nisan itu.

"Dia perempuan yang waktu itu." ucap mas Alvin

"Maksudnya?"

"Perempuan yang waktu itu bertemu di Yogyakarta, Jakarta, dan rumah sakit kemarin."

Astaga. Ya Allah, cerita apalagi ini?

"Dia juga menjadi alasan saya tidak memberi kamu hadiah di ulang tahun kamu tahun ini."

Perasaan bersalah memenuhi hati ku. Aku sudah menuduh perempuan itu dengan hal yang tidak-tidak.

Aku hanya bisa menunduk. Malu rasanya. Aku menyentuh tanahnya. Aku meminta maaf atas segala prasangka buruk ku.

Tidak ada suara diantara kami. Aku berusaha untuk meminta maaf walaupun beliau sudah tidak ada.

"Sudah?" tanya nya

Pertanyaannya seakan-akan mengerti apa yang tengah aku lakukan. Aku hanya bisa mengangguk.

Mas Alvin mencium nisan itu, kami kembali ke dalam mobil. Aku langsung bersandar dengan lesu.

Benar kata kak Abi, kemarahan membuat kebenaran tertutupi.

"Sudah, tidak ada yang perlu disesali lagi." ucap mas Alvin

"Sama saja mas."

"Doakan saja. Pasti dia pun mengerti. Lagi pula, dia juga perempuan."

"Kecemburuanku menutupi semuanya. Makanya, aku tidak ingin mendengarkan apapun yang terucap dari mulut mas saat itu."

Kami kembali berjalan.

YOGYAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang