Senin, 12 September 2011
Pagi ini, dengan menggunakan seragam putih biruku, aku memasuki tempat, dimana akal manusia akan diasah. Dan ini adalah hari Senin, berarti, akan ada kegiatan yang wajib dilakukan, yaitu upacara bendera.
Aku merasa biasa-biasa saja dengan upacara bendera, berbeda dengan teman-temanku yang terkesan takut dengan upacara bendera. Selalu ada doa khusus yang mereka panjatkan di setiap Minggu malam.
Mereka berdoa supaya bumantara menangis. Tidak masuk akal bagiku, upacara bendera ya tinggal upacara, apa susahnya? Tidak dipungut biaya ini. Dasar, manusia Indonesia, sudah dikasih tanah untuk tinggal, tapi tidak ingin melakukan hal kecil untuk negara.
Hanya berdiri di lapangan 30 menit, ya paling lama 45 menit, tidak sampai satu jam. Lagi pula, matahari pagi menyehatkan kok. Kalau pembina upacaranya adalah bapak ku. Habis kalian semua terkena kata-kata mutiara yang penuh dengan penekanan.
"Ya Allah, kenapa doa-doa hamba mu ini tidak engkau kabulkan?!" Ucap sahabatku, Ghani namanya.
"Masih ada 15 menit lagi! Jangan putus doanya." Ucap Nando
"Percuma Do, langit aja masih terang begitu." Ucap Wisnu
"Jadi manusia itu jangan mudah menyerah. Masih ada waktu, siapa tau Allah ngabulin doa kita." Ucap Nando
Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku melihat kelakuan orang-orang di sekitar. Untung saja telingaku ini sudah terbiasa mendengarkan doa-doa seperti itu setiap pagi, jadi ya, semoga saja setelah lulus dari sekolah ini, telingaku masih berfungsi dengan baik.
"Kamu berdoa juga dong Kay!" Perintah Ghani kepada ku.
"Ngapain?! Kurang kerjaan! Mending aku berdoa supaya hari ini aku bahagia dan sukses, lebih bermutu." Balasku
"Percuma meminta Kayla, rasa nasionalisme nya sudah tertanam di lubuk hati yang paling dalam." Celetuk Wisnu
Aku hanya diam.
Na'as, doa yang mereka panjatkan tidak dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Suara speaker pun sudah berbunyi, dan bumantara pun tidak ada tanda-tanda untuk menangis saat ini.
"Sudah, ayo ke lapangan!" Ajak ku kepada Ghani
"Aku males Kay, sumpah!"
"Kamu mau dihukum memang?"
"Engga! Bukan karena lelahnya, aku malu kalau harus dihukum."
Akhirnya Ghani menuruti perintahku. Kami berjalan ke lapangan upacara yang sudah diisi oleh lautan manusia.
Walaupun aku yakin, terdapat sumpah serapah yang terucap di dalam hati orang-orang ini.
Lagi-lagi, aku mendengar, beberapa ujaran kebencian terhadap bumantara, mengapa tidak turun hujan? Mungkin kalau bumantara tidak sabar, dia sudah mengeluarkan panah kelodan miliknya.
Tubuhku bisa dibilang cukup tinggi, jadi, mau tidak mau aku berada di barisan paling belakang. Sedangkan Ghani, dia berada di posisi 4 orang di depanku. Pemandangan yang sudah tidak asing bagiku, dan hanya aku temukan pada hari Senin.
Ada yang bolak balik benerin tali sepatu lah, ada yang pembina upacara baru masuk langsung ke toilet lah, ada juga yang seperti cacing kepanasan. Bahkan, masih ada saja yang membuka arisan dadakan. Pokoknya banyak sekali alasan mereka untuk tidak berdiri tegak.
Tetapi untuk Senin ini, ada satu pemandangan yang tidak biasa, dan bisa dibilang langka. Seorang laki-laki di sebelahku, yang berhasil menyita perhatianku. Dan dapat aku pastikan dia anak 8.3.
Mengapa dia berhasil menyita perhatianku? Jawabannya hanya satu, dan itu pun singkat, padat, dan jelas.
Dia tidak bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOGYAKARTA
Teen FictionDi bawah cakrawala dan di atas bentala Yogyakarta, aku dan kamu, mendapat restu dari sang pencipta, untuk bersatu menjadi kita.