Sedih

299 36 5
                                    

UN telah selesai, terasa sangat cepat seperti angin lalu saja. Tetapi perjuangan dibalik UN-lah yang membuat semuanya terasa lama. Begadang, skip hang out, tidak nge-game, semua dilakukan demi fokus belajar untuk UN. Dan kabar baiknya rata-rata siswa maupun siswi ISHS mendapatkan nilai yang memuaskan. Termasuk Eltazafer, keenam cowok itu sedang berjalan santai menuju kantin sambil mengobrol ringan.

"Gue kira nilai sosiologi gue anjlok, eh ternyata engga. Alhamdulillah." Kata Fadil sambil mengayukan lengan Saka yang berjalan disampingnya.

"Nilai sosiologi seorang Fadil rendah? Ow, mana mungkin." Ejek Alvin kemudian mengingat Fadil sangat hebat dibidang tsb.

Zach menoleh, "Sama kaya lo Vin, mana pernah rendah kalo antro."

"Idih, lo juga kali. Kalo MTK selalu tinggi nilai lo, bikin iri aja."

Memang, semua orang sudah tau kalau Eltazafer jago dibidang masing-masing. Tidak hanya olahraga, Eltazafer juga jago dipelajaran. Rata-rata dari mereka malah menguasai MTK dengan mudahnya. Sesampainya mereka dikantin, Fadil memesan enam mangkuk soto beserta enam es teh untuk teman-temannya.

"Dalam rangka apa nih Dil lo traktiran gini?" Tanya Kahfi sambil menyambut mangkuk soto miliknya.

"Kayanya gue tau nih, iya deh iya yang bentar lagi punya istri." Kini Raja angkat suara.

"Bener, Dil?" Zach menoleh kearah Fadil, menunggu jawaban.

Fadil mengedikkan bahu, "Maybe?"

"Sok-sokan bilang maybe lagi, geli anjir." Saka menoyor kepala Fadil dengan geram.

Dan berakhir pecahnya tawa Eltazafer. Berbeda dengan Fadil, Zara justru malah tidak senang. Bukan karena ia tidak ingin menikah dengan Fadil, hanya saja ia mengalami mood swing belakangan ini. Hal yang biasa calon pengantin hadapi, tapi Zara justru panik ia merasa sudah hilang akal.

"Udah Zar, nanti kalo lo nikah kita temenin deh malam pertamanya." Sontak, keenam gadis ini menatap Audy dengan tatapan bertanya-tanya. "Bukan gitu, maksud gue kita nginap dirumah lo seandainya lo belum terbiasa tidur sama orang lain."

"Iya Zar, kita temenin. Kita jagain dari Fadil." Tambah Yashi.

Zara tertawa bersama teman-temannya. Benar kan gadis itu memang menghadapi mood swing yang sangat dramatis, kadang ia menangis tersedu-sedu tapi tak lama kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Sampai Yashi sering menanyakan akal sehat gadis itu.

Setelah selesai dari kantin, keenam gadis itu berjalan menuju parkiran untuk pulang dengan kendaraan masing-masing. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Alvin berdiri dengan percaya dirinya yang tinggi dihadapan mobil Yashi yang sedang diparkir. Aura mengerutkan alisnya curiga, ia menatap Alvin dengan death glarenya.

"Shi, gue mau ngomong. Berdua."


Kelima gadis yang sedang berada disekitar Yashi terdiam, belum bisa mencerna apa yang terjadi barusan. Yashi yang juga mematung langsung menatap teman-temannya, "Gais, duluan aja."


"Beneran gapapa?" Aura bersuara, sambil menatap Alvin curiga.


"Beneran, suer."


Setelah jawaban Yashi barusan, kelima gadis tadi langsung meluncur menuju rumah masing-masing meninggalkan Yashi yang kini saling diam dengan Alvin. "Shi...."

Yashi menatap cowok berbehel itu, "Apa?"

"Gue suka sama lo."

"Terus?"


"Gue mau lo jadi pacar gue."


"Alasannya?"


Sebenarnya Alvin agak kaget dengan deretan pertanyaan yang ditanyakan Yashi, baru sekali ia menemui cewek yang saat ditembak malah menanyakan alasan. Memang, hanya Yashi.

"Kalo lo cuma jadiin ini alasan biar pas prom night nanti lo punya pasangan atau pas nikahan Fadil nanti lo punya gandengan, maaf gue ga bisa." Sambung Yashi.


"Bukan gitu, dengerin dulu."


"Oke,"


"Gue mau kita pacaran karena gue ga mau nanti pas udah kuliah malah nyesel kenapa ga nembak lo dari sekarang. Gue juga ga mau galau sendiri cuma gara-gara nyesel karena ga ungkapin perasaan gue. Meskipun seandainya nanti lo nolak gue, setidaknya gue lega udah bilang ini semua."


Yashi mengangguk paham, "Iya."


"Iya apa?" Alvin menatap Yashi, ia tidak paham kemana arah pembicaraan mereka.


"Iya, gue terima."


"Oke, berarti sekarang kita pacaran."


"Iya, udah ga usah nanya lagi. Gue mau balik." Yashi memutar badan, lantas masuk ke mobilnya.


Setelah kejadian tadi Alvin dan Yashi sama-sama menjerit senang dimobil masing-masing. Keduanya begitu senang hari ini, dan berharap semoga kebahagiaan mereka awet hingga akhir.


--


"Dy,  kamu mau kan temenin Mama ke pengajian lagi?"


Audy yang sedang duduk diruang tengah sambil memakan kuaci langsung menoleh kearah Mama, ia kaget. Sebisa mungkin ia menghindari semua hal yang berhubungan dengan Kahfi, namun kali ini sepertinya ia gagal. Titah sang Mama tidak mungkin ditolaknya. Memang, perkataan Mama tadi berwujud pertanyaan namun tetap saja tidak bisa dibantah. Audy tidak ingin memulai peperangan baru dengan sang Mama.


"Ayo Ma," Gadis itu langsung berdiri, lantas membersihkan bekas makan kuacinya, setelah itu ia berlari kelantai atas untuk bersiap.


Mama hanya bisa tersenyum senang, entah sejak kapan anak gadisnya menjadi penurut seperti ini. Benar-benar tidak biasa dimata Mama. Biasanya Audy akan meronta dan marah-marah jika Mama sudah mulai meminta hal yang tidak disukainya, namun kini dengan mudahnya Audy menyetujui hal tsb. Mama senang, anak bungsunya sudah dewasa kini.


Sesuai dugaan Audy, Kahfi ada disana. Hati gadis itu memerintahkan untuk tidak menatap Kahfi, namun matanya tidak sejalan. Dan dalam sepersekian detik Kahfi malah tersenyum padanya, membuat tembok pertahanan Audy runtuh begitu saja. Audy ingin menangis, sangat ingin namun ia sadar sedang berada dimana.


Melihat Kahfi yang tengah banyak bercanda dengan teman-temannya membuat Audy tambah patah hati. Bagaimana bisa Kahfi dengan mudahnya tertawa, sementara dirinya menderita menahan sedih. Baginya, ini tidak adil. Ia merasa jalan yang ia ambil memang sudah benar, ia merasa benar karena sudah meninggalkan rasa sukanya terhadap Kahfi. Meninggalkan si penyebab rasa sakitnya.


Tidak ada yang lebih Audy benci dibandingkan melihat Kahfi sebahagia itu setelah kejadian beberapa hari lalu. Harusnya Audy memang tidak menyimpan rasa pada Kahfi, harusnya. Meskipun akhirnya semua berakhir begitu saja bagi Kahfi, tapi tidak bagi Audy. Ada rentetan kesedihan yang harus ia terima, dan Audy tidak mampu menahan sedih itu.




Geruchtted✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang