46. Memaafkan dan Mengikhlaskan

341 27 4
                                    

Aline membuka pintu kamar Reina, ia melihat si empunya kamar tengah berdiri membelakanginya. Reina tengah menatap kosong foto-fotonya bersama Aldo.

Aline menghampiri adiknya, ia sudah tau kejadian yang menimpa adik perempuannya tadi siang dari adik laki-lakinya. Salahkan dirinya yang lebih memilih datang rapat BEM ketimbang menenangkan Reina yang menangis histeris.

"Dek." Tak ada sahutan dari Reina, gadis itu masih tetap menatap kosong foto-foto kebersamaannya bersama Aldo.

"Ikhlaskan dia, ikhlaskan keadaan sekarang. Kakak tau kamu terpukul karena hancurnya hubungan persahabatan kalian yang hampir 10 tahun. Dia bukan cowok baik." Mendengar itu sontak membuat Reina menoleh. Ia tak terima Aldo dibilang cowok baik tapi ia sedang malas untuk menampiknya. Bukan, lebih tepatnya malas untuk mengeluarkan suaranya yang mungkin akan membuatnya menangis lagi.

"Kalo dia cowok baik, seharusnya dia lebih memilih kamu, sahabatnya." Aline mengelus rambut Reina dengan sayang. "Sahabat yang udah ia kenal hampir 10 tahun, sabahat yang tumbuh bersama, bukan gadis yang baru ia kenal tak lebih dari setengah tahun."

"Kak," panggil Reina dengan lirih. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia menyentuh salah satu foto di depannya, terdapat dua anak kecil berlainan jenis yang tersenyum lebar dengan sepeda masing-masing. "Aku kehilangannya, kak." Air mata kembali menetes di pipi Reina dan buru-buru dihapus oleh Aline. Tapi percuma, air mata itu malah semakin deras.

"Aku nggak akan pernah bisa nemuin orang seperti dia lagi, kak. Aku..." Ucapan Reina terputus karena Aline menariknya kedalam pelukan. Aline mengelus punggung Reina. "Ssttt. Di dunia ini, laki-laki bukan cuma dia, dek. Allah sayang sama kamu, nunjukin kalo Aldo bukan yang terbaik buat kamu."

"Tapi, kak. Aku kehilangan sahabat." Reina kembali terisak kali ini di bahu kakak perempuannya. Aline memeluk adiknya dengan erat, menyalurkan kekuatan untuk Reina. Aline sedih melihat adiknya tengah terpuruk seperti. Reina selalu berpikir bahwa Aldo tak akan pernah meninggalkannya, hingga disaat semuanya berubah Reina ikut hancur bersama harapannya.

"Kak, aku selalu minta Allah buat persahabatanku nggak hancur. Tapi kenapa Allah nggak ngabulin permintaanku. Aku nggak masalah kalo Aldo harus menolak perasaanku."

"Allah tau yang terbaik buat umatnya. Kalo Allah nggak beri Aldo buat kamu, berarti Aldo bukan yang terbaik buat kamu." Aline melonggarkan pelukannya pada Reina. "Kuncinya ikhlas, dek. Kalo kamu ikhlas, kamu pasti bisa lewati semuanya."

Aline mengusap air mata Reina dan tersenyum. "Masih banyak laki-laki di dunia ini." Ia mengacak rambut adiknya. "Kamu tidur cepet, jangan gadang, dan nggak boleh terpuruk lagi. Semangat!!!" Setelah itu, Aline pergi meninggalkan adiknya sendiri. Ia tau Reina pasti perlu waktu untuk menerima keadaan dan mencerna semua nasihatnya tadi. Ia harap adiknya bisa ceria lagi.

***

Arlan datang lagi kerumah Alfi. Ia tak ingin bertemu cowok itu, ia ingin menghibur Reina. Ia sudah 2 hari terus berkunjung untuk mengajak gadis itu pergi, tapi selalu mendapat penolakan. 2 hari Reina tak ingin bertemu orang luar selain keluarganya, 2 hari pula ia tak keluar rumah dan ia hanya sibuk dikamar melihat foto kenangannya bersama Aldo. Beruntung untuk yang ketiga kalinya Reina mau diajak pergi oleh Arlan.

Reina hanya memakai rok putih tulang selutut dengan blous peach sebagai pasangannya. Rambutnya yang hanya sebahu itu ia urai. Ia memakai sepatu kets putih. Penampilannya sangat cute tapi wajahnya tak ada senyum yang menghiasi.

Reina turun dari tangga menemui Arlan. Cowok itu akan berusaha membuat Reina menyunggingkan senyumnya lagi walaupun itu hanya sedikit.

***

Reina dan Arlan saat ini tengah berada di taman depan komplek Reina. Mereka tengah menonton drama, lebih tepatnya Arlan menemani gadis itu untuk menonton. Jujur saja selama drama terputar, Reina hanya menatap tanpa minat. Ia sedang malas untuk menonton tapi Arlan memaksanya dengan dalih drama terbaru dan pemeran utamanya ganteng.

Sampai sekarang Reina masih belum menampilkan senyumnya bahkan ia hanya mengeluarkan suara disaat ia ingin. Gadis itu menatap tukang es krim keliling yang kebetulan sedang berhenti tak jauh dari mereka.

Arlan merasa gadis disebelahnya ini sedang tidak fokus dengan dramanya. Ia menoleh, menatap mata gadis itu, dan mengikuti arah pandang Reina. Arlan paham, Reina ingin es krim. Ia beranjak dari duduknya yang mendapat tatapan bingung dari Reina. "Nih bawa dulu tab nya." Ia menaruh tab pada pangkuan Reina. "Gue paham, gue beliin." Baru saja Reina ingin membuka suara, tapi Arlan sudah ngeloyor pergi dan membuatnya mengatupkan bibirnya serta mengedikkan bahunya cuek.

Tak sampai 5 menit, Arlan telah kembali dengan kantong kresek di tangannya yang Reina yakini berisi dua es krim. Arlan kembali duduk disampingnya dan memberikan satu es krim yang telah di buka bungkusnya kepada Reina. "Nih, rasa coklat, rasa favorit lo."

Baru saja Reina membuka mulut untuk bertanya tapi ia urungkan. Ia ingin bertanya bagaimana cowok itu tau rasa kesukaanya tapi tak jadi ia tanyakan. Ia mengembalikan tab nya di pangkuan Arlan, ia sudah tak tertarik untuk menonton.

Reina menatap kedepan, disana terdapat dua anak kecil berlainan jenis tengah bermain sepeda. Hal itu mengingatkannya pada 8 tahun yang lalu. Disaat ia berumur 9 tahun sedangkan Aldo berumur 10 tahun.

Reina tersenyum miris mengingatnya. Arlan diam-diam memperhatikan Reina, ia mengelus rambut gadis itu dengan sayang.

Reina masih diam, bahkan es krim yang berada ditangannya sudah mulai mencair. Matanya lama-kelamaan menjadi panas, bahkan terdapat genangan disana. Ia berkedip satu kali yang otomatis membuat air matanya menetes. Reina buru-buru menghapusnya.

"Ternyata gue salah ngajak main kesini," gumam Arlan yang masih dapat didengar dengan jelas oleh Reina. Gadis itu langsung menoleh menghadap Arlan tak lupa juga menyunggingkan senyumnya. Tapi dimata Arlan, senyum itu terlihat menyedihkan karena nyatanya Reina tak tulus memberikan senyumannya.

"Nggak papa kok. Makasih udah berniat buat hibur gue," ucap Reina. "Tapi, hampir setiap sudut taman ini memiliki kenangan gue sama Aldo. Waktu kecil, bisa dibilang ini markas bermain gue sama Aldo."

Arlan membuang es krin yang ada di tangan Reina karena sudah tak berbentuk alias mencair mengenai tangan gadis itu. Arlan membersihkan tangan Reina dengan telaten menggunakan sapu tangan yang selalu ia bawa. "Masalah kemarin jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti lo sakit. Masih ada ikan dilaut, masih banyak cowok di dunia ini."

"Gue lagi usaha buat nerima semuanya, membiasakan diri tanpanya, dan memaafkan walaupun untuk yang terakhir gue nggak yakin bakalan bisa atau nggak."

"Harus bisa dan pasti bisa." Arlan mengacak rambut depan Reina kemudian kembali ia rapikan. Ia yakin Reina pasti bisa melewati semua ini.

***

Fairahmadanti

ReinAldo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang