Satu

4.3K 292 21
                                    

Suara ketukan pintu yang berulang mau tak mau membangunkan Qianna dari satu-satunya pelarian terbaiknya.    Dengan malas Qianna bangun dari tidurnya dan berjalan untuk membuka pintu. Lagi-lagi sebenarnya tanpa Qianna buka Ia tentu tau siapa yang mengetuk pintu kamar kosannya itu.

"Qianna, ini bagaimana kamu sudah dua bulan tidak bayar kos loh.."

"Iya bu saya usahakan akhir bulan ini" jawab Qianna

"Ini maaf ya Qianna, tapi kan ini kosan juga punya keluarganya suami ibu. Ibu harus setoran, harus bayar listrik dan yang lain-lain"

"Iya bu saya ngerti, saya minta maaf"

"Ibu tunggu sampai akhir bulan ya, kalau tidak ibu terpaksa keluarin barang-barang kamu"

Qianna hanya menganggukan kepalanya. Bukan karna Ia tau Ia akan mendapatkan uang di akhir bulan tapi karna hanya itu yang paling cepat yang biasa Ia lakukan. Masalah nanti yang harus terjadi biar saja terjadi.

"Yaudah ibu tinggal dulu"

Beberapa saat setelah sang ibu kos pergi Qianna menutup pintu kamarnya. Ia sudah ingin kembali ke kasur. Namun di tahannya, Ia mengambil ponsel dan duduk di kursi kerjannya. Ia juga kembali membuka laptopnya.

Sudah dua puluh empat tahun Ia hidup. Namun kehidupan mudah yang Ia harapkan justru terus menerus semakin sulit.

Dengan hampa Ia menatap layar laptopnya, tersenyum miris meratapi jalan hidupnya.

Ia ingat betapa cemerlang kehidupannya saat SMA dulu,  mimpi yang tinggi di imbangi semangat juang membara menjadi kekuatannya. Meski terus terjatuh Qianna terus mencoba bangkit, terus percaya bahwa semua hanya perjalanan menuju kesuksesan. Ia terbiasa membiayai hidupnya sendiri, Ia biasa bekerja dari pagi hingga pagi dan tak pernah merasa lelah karna Ia pikir dengan begitu Ia bisa menggapai mimpinya.

Namun ternyata semua harapannya tak juga terwujud. Entah tak akan terwujud atau menjadi terlalu lama,hingga semangatnya perlahan padam.

Ini sudah sepuluh tahun sejak Ia memulai mimpi besarnya. Jatuh bangun terus Ia lewati, tapi Ia belum juga bertemu dengan yang orang sebut sebagai kesuksesan.

Tak terhitung lagi beberapa kali Ia menjumpai kegagalan. Hingga semua kelelahan itu berkumpul di hari ini.

Ia menatap iri pada teman-temannya yang bahkan dulu tak memiliki mimpi sebesar dirinya tapi paling tidak mereka sudah berhasil menjadi seorang sarjana dan memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang cukup memenuhi hidup. Memiliki rumah,mobil dan bahkan sudah banyak yamg berkeluarga.

Tetapi apa yang dia punya? Hanya tinggal di dalam kosan berukuran 3*4 yang bahkan tak sanggup Ia bayar. Mempunyai pekerjaan yang meski Ia sudah mati-matian bekerja uang yang Ia peroleh bahkan tak cukup memenuhi biaya satu bulan. Parahnya saat ini kontrak kerjanya sudah habis.

Qianna menyentuh novel-novel karya yang berjajar. Ia bangga memiliki itu. Tapi apa artinya itu semua jika untuk membeli makan saja Ia sangat kesusahan. Tabungannya yang tak seberapa habis untuk memenuhi keinginan ibunya yang ingin mengadakan acara hajatan untuk adik bungsunya. Tidak, Ia tidak kesal, Ia juga ikhlas memberikan itu paling tidak itu yang bisa Ia lakukan untuk keluargannya. Meski keluarganya tak dalam keadaan sangat kekurangan seperti dirinya.

Satu-satunya pendapatan sekarang ini adalah dari hasil menulisnya di web. Tapi Ia bahkan tidak dapat menulis sekarang. Hal yang paling bisa Ia lakukan saja sudah tidak bisa Ia lakukan.

Jari telunjuk Qianna menekan tombol gulir pada laptonya. Saat ini Ia sedang melihat akun media sosial adiknya.

Hatinya terasa sakit, melihat wajah bahagia sang adik bersama teman-temannya di kampus. Ya, dia merasa iri. Iri pada kesempatan yang di milikki adik-adiknya. Ia iri melihat tawa itu, Ia bahkan tak memiliki mereka yang di sebut sebagai sahabat.

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang