Tiga Puluh

882 141 13
                                    

Ucapan Woo Jin sungguh mengusik hati Ji hwa. Ia bahkan tak tau sudah seperti apa perasaanya saat ini. Di satu sisi Ia merasa marah dan kecewa, Ia juga merasa tak terima dan sedih karna kepergian Hyo joon. Tapi mendengar apa yang Woo Jin katakan membuat Ia sadar bahwa Ia tak berhak merasa seperti ini. Ini adalah tubuh dan hidup Ji hwa. Ini bukan milik dirinya. Parahnya Semua hal tidak menyenangkan ini berawal dari tulisannya, pemikirannya. Saat menulis Ia bisa dengan mudah mengorbankan perasaan siapapun bahkan mendatangkan atau menghilangkan tokoh sesuka hatinya. Tapi kali ini Ia menjalaninya. Menjalani apa yang sudah Ia tulis, menjadi karakter yang Ia rancang dan juga menghadapi karakter-karakter yang Ia buat dengan tangannya sendiri. Ia harus bagaimana sekarang?  Ia ingin semuanya bahagia namun tentu saja tak bisa tetap harus ada yang Ia korbankan. 

Ji hwa masih terduduk di atas kasurnya.  Ia menatap jendela kamarnya,  langit mulai berwarna jingga pertanda matahari akan segera kembali tenggelam. 

Jika Ia turun dan menyerah sekarang Ia akan benar-benar kehilangan Hyo joon.  Namun jika Ia tetap di tempatnyan benar seperti apa yang di katakan Woo Jin,  Ia akan menyakiti lebih banyak orang. Lalu apakah harus Hyo joon lagi yang Ia korbankan?  Apakah Ia menciptakan sosok hyo joon hanya untuk menjadi korban seperti ini.  Ia tak rela sungguh tidak rela.  Apalagi setelah apa yang hyo joon lakukan untuknya.  Meski Ji hwa tau semua ini tidak nyata Ia tetap saja tak rela melukai Hyo joon lagi. 

"Mianhae eomma,appa,jae hoon-a. Tapi aku sungguh tidak mau Hyo joon berkorban lagi.. " ucap Ji hwa.

Di bandingkan turun dan keluar dari kamarnya Ji hwa memilih untuk menidurkan dirinya lagi.

***
Sebuah pintu ruangan terbuka dengan kencang. Woo Jin masuk begitu saja meski seorang perawat mencoba menahannya.

Hyo joon menatap Woo Jin yang datang lagi.

"Dok..maaf" ucap sang perawat.

Hyo joon meminta perawat itu keluar.  

"Akan sampai kapan kalian terus keras kepala seperti ini hah?"

Hyo joon tak menjawab, Ia hanya terus menatap pada Woo Jin.

"Dia masih belum juga mau makan. Tolong temui dia, dia akan sakit jika terus seperti ini"

"Itu bukan urusan ku" ucap Hyo joon

"Apa kau tidak peduli dengannya hah?!" bentak Woo Jin

"Aku peduli, tapi kenapa harus aku yang bertanggung jawab?"

"Choi hyo joon!"

"Kalian yang membuang ku, kenapa aku harus kembali. Aku hanya melakukan perintah dari mertua hebat mu itu. Lalu kenapa aku juga yang harus bertanggung jawab dengan Ji hwa. " ucap Hyo joon

"Ji hwa akan terus seperti ini kalau bukan kamu yang meminta.."

Hyo joon mengangguk. "Aku tau"

"Lalu kamu akan membiarkannya terluka?"

"Ini bukan keputusan ku. Ini keputusam kalian!"

"Hyo joon! Dia akan terluka kalau terus seperti ini!" pekik Woo Jin yang tak tahan lagi. Ia sungguh merasa sangat lelah, Ia bahkan belum beristirahat dan makan dengan benar sejak kejadian hari itu.

"Kalau begitu harusnya kalian tidak membuang ku! Kalau kalian mengkhawatirkan Ji hwa dan peduli padanya seharusnya sejak awal kalian tidak menjauhkan kami! Kalau kalian tidak ingin melihat Ji hwa terluka harusnya Dia menikah dengan ku bukan dengan mu!" balas Hyo joon yang kini berdiri dari kursinya.

"Terlalu terlambat jika kalian baru menkhawatirkannya sekarang. Ia sudah terluka terlalu lama. Ia sudah terluka sejak pertama kali aku meninggalkannya. Lalu kalian mau aku apa lagi? Menemuinya? Memberikannya harapan baru dan ketika Ia mulai kembali berharap kalian akan menghancurkannya lagi? Apa itu yang kalian sebut sebagai peduli?"

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang