Setelah drama menangis tadi Ji hwa menjadi lebih diam. Tentu saja karna Ia malu kepada Woo Jin. Ia tidak tau mengapa sejak menjadi Ji hwa Ia mudah sekali menangis. Seingatnya saat menjadi Qianna Ia tak suka menangis. Entah karna Ia yang kini menjadi cengeng atau memang sejak dulu Qianna memang cengeng hanya saja Ia tak punya kesempatan untuk menangis dia di paksa untuk selalu tegar. Tapi sebagai Ji hwa ada banyak sekali orang yang akan mendengarkannya meski dengan terpaksa.
"Sudah lebih baik? " tanya Woo Jin mencoba memulai pembicaraan. Ji hwa mengangguk.
"Kepala mu masih sakit? " tanya Woo Jin
"Euhm.. " ucap Ji hwa dan mengangguk.
"Apa kamu tidak ingin melakukan pemeriksaan lengkap lagi? "
Ji hwa menggeleng, "tidak.. Hyo Joon tidak menyarankan.. " ucap Ji hwa yang kemudian terhenti. Sebuah ide baru saja muncul di kepalanya.
Sebagai pasien patah tulang Hyo Joon memang bukan dokternya, tetapi sebagai pasien kecelakaan kemarin Hyo Joon masih punya tanggung jawab penuh atasnya.
"Ah.. Benar.. Aku harus melakukan pemeriksaan ulang kan? Menurut mu juga begitu kan?"
Woo Jin yang bingung hanya menganggukan kepalanya.
"Tolong ambilkan ponsel ku" ucap Ji hwa meminta ponselnya. Woo Jin pun mengambil ponsel Ji hwa dan memberikannya pada Ji hwa.
Tanpa menunggu lagi Ji hwa pun langsung mengirimkan pesan kepada Hyo Joon dengan senyum penuh kemenangan. Ia sungguh tidak akan menyiakan sekecil apapun kesempetan untuk menahan Hyo Joon.
Hal itu mendapat perhatian sendiri dari Woo Jin. Dengan tenang Woo Jin menatap Ji hwa yang nampak bahagia, seingatnya baru tadi Ji hwa menangis sesegukan dan hanya dengan nama Hyo Joon senyum Ji hwa kembali berkembang.
Harusnya Ia tak perlu memperdulikan itu. Harusnya Ia sudah tau akan hal itu, harusnya Ia juga sudah terbias. Tapi kali ini hatinya tak mau menerima itu, ada rasa keinginan yang sangat besar untuk merebut ponsel Ji hwa saat ini.
Ada juga rasa tak terima, iri dan juga kesal yang teraduk menjadi satu di dalam hatinya.
Lihatlah Ji hwa bahkan terus menatap ponsel seakan Ia tak ada di sana. Itulah yang terus ada di dalam benak Woo Jin.
"Apa Hyo Joon sangat penting untuk mu?" tanya Woo Jin. Woo Jin tau dia akan nampak sangat bodoh jika menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah pasti. Meski begitu Ia tetap ingin mendengar.
"Tentu saja.. Dia satu-satunya sahabat ku. Tidak dia bahkan lebih dari sahabat," jawab Ji hwa tanpa mengalihkan wajahnya dari ponsel.
"Kalau kamu sangat mencintainya kenapa kamu tidak memaksa dia agar menikahi mu?"
"Apa kamu akan menikahi adik mu sendiri?" tanya Ji hwa dan menoleh singkat pada Woo Jin
"Maksud mu?"
"Ah.. Sudahlah. Tolong bantu aku, bantu aku untuk mengatakan pada ayah kalau aku butuh hyo joon memeriksa ku ulang. Hmm?"
Woo Jin mengeraskan wajahnya karna kesal.
"Kenapa aku harus membantu mu?"
"Hanya dengan ini aku bisa menahan Hyo Joon pergi. Oh ayolah.." ucap Ji hwa
"Aku tidak peduli.."
"Ya! Aku peduli!"
"Kalau gitu urus saja urusan mu" ucap Woo Jin
Ji hwa sudah akan berdebat dengan Woo Jin, namun tentu itu bukan jalan keluar yang baik. Iya harus mengalah demi bisa menahan Hyo Joon.
"Tolong aku.. Gimana kalau sebagai gantinya aku juga akan melakukan sesuatu untuk mu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)
Fantasy"Terkadang mereka yang tak menangis bukan karna mereka tak susah atau tak terluka. Tetapi karna mereka sadar, air matanya tak memiliki kekuatan untuk dapat dihargai. Sehingga meski semua terasa melelahkan dan menyakitkan mereka tetap memilih untuk...