Lima belas

961 135 11
                                    

Hyo joon menatap berkas ke pindahan yang sudah tertumpuk di atas mejanya.  Ia tak tau apa yang harus Ia lakukan, Ji hwa yang menangis terus membayanginya. Dulu ketika Ia harus berpindah negara rasanya tak seberat ini meski Ji hwa terus memohonnya. Tapi kali ini Ia hanya berpindah kota mengapa rasanya Ia tak tega meninggalkan Ji hwa.

Hyo Joon mengusap pelipisnya. Ia terus merasa Ji hwa yang saat ini bukanlah Ji hwa. Tapi saat Ji hwa menemuinya tadi menanyakan apakah Ia akan pergi, Ia benar-benar seakan melihat Ji hwa. Bagaimana cara Ji hwa menatapnya sangat amat persis seperti yang Ji hwa lakukan dulu.

Haruskah Ia tak pergi kali ini? Satu kalimat itu muncul di kepalanya yang kemudian di ingatkan dengan Ji hwa yang ada di rumah Woo jin, Ji hwa yang tak mengangkat telfonnya.

"Jangan gila Hyo joon. Kau harus tau dimana batasan mu" ucap Hyo Joon dan mengambil pulpennya lalu menandatangani berkas-berkas itu.

Ia menghela napasnya kasar dan memilih untuk bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan.

***
Sedangkan di lain tempat Ji hwa sedang mengaggumi apartement milik suaminya. Kali ini bukan karna besar atau dengan arsitektur mewah. Justru karna apartemen itu cukup biasa untuk seorang Woo jin dan Ji hwa yang tinggal di dalamnya.

"Aku yakin apartement ku lebih bagus dari ini" gumam Ji hwa tanpa Ia sadari di dengar Woo Jin. Woo Jin yang baru saja meletakan tas kerja melirik ke arah Ji hwa yang kini menelusuri isi apartementnya.

"Kenapa ingin berdebat lagi untuk mendekor ulang apartement ku? Bukankah aku sudah bilang pulang saja ke apartemen super mewah mu" ucap Woo Jin.

Ji hwa menatap Woo jin entah dengan tatapan apa lalu berdecak dan menggelengkan kepalanya.

"Boleh aku beri saran tuan woo jin?"

Woo Jin menjawab Ji hwa dengan tatapan bingung. "Jangan terlalu membenci ku.. Kau bisa sangat jatuh cinta dengan ku nanti"

Woo jin memberikan ekpresi tak jelas, Ia hanya menaikan satu alisnya.

"Lihatlah, aura kebencian mu pada ku memancar dari segala arah" lanjut Ji hwa yang kemudian bergidik.

"Menakutkan sekali..ouh.." ucap Ji hwa lagi yang kemudian meninggalkan Woo jin yang masih hanya berdiri di tempat dari kejauhan Ji hwa meneriaki bahwa dirinya akan mandi.

...
...
Berjibaku dengan kompor dan alat-alat dapur lainnya membuat Ji hwa banyak berkeringat, bahkan saat menjadi Qianna Ia tak begitu suka ada dapur. Dia bukan wanita gendut seperti di banyak cerita yang bisa memasak atau melakukan banyak tugas lainnya. Dia adalah wanita gendut yang belagu dan bersikap seolah dia adalah wanita-wanita cantik nan manja.

Kalau bukan karna Ibu Woo Jin adalah mertuanya. Ia juga tak mau susah payah memasak, membersihkan piring dan sebagainya.

"Ahh..menjadi istri memang pekerjaan besar. Kamu tidak hanya harus mengurus suami tapi juga orang tuanya..." keluh Ji hwa yang sedang berendam air hangat.

"Nyamannya.." ucap Ji hwa lagi yang kini memejamkan matanya.

Rasa hangat dari air dan juga wangi lembut dari lilin aromaterapi membuat Ji hwa merasa sangat nyaman. Seakan banyak beban yang terangkat dari pundaknya.

"Harusnya aku sering melakukan ini saat menjadi Qianna dulu" batin Ji hwa.

Senyum di bibirnya tercetak begitu saja. Ia tidak tau bahwa hanya dengan berendam Ia bisa merasa serilex ini.

"Qianna tidak akan sempat menikmati ini. Ia hanya akan sibuk di kerjar hutang atau di desak sana. Aku suka sekali menjadi han Ji hwa" lanjut Ji hwa masih tanpa suara.

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang