Tiga Puluh empat

966 152 26
                                    

Tangan Ji hwa terus saja menepuki dadanya. Wajahnya bahkan bersemu merah. Yang lebih aneh lagi Ia masih saja merasa kepanasan meski Ac di mobilnya sudah pada ukuran tertinggi.

"Apa tidak bisa lebih dingin lagi dari ini?" tanya Ji hwa

"Maaf non.. Ini sudah yang paling tinggi.."

Ji hwa mengipasi dirinya sendiri. Kemudian meminta berhenti di mini market terdekat dan menyuruh supirnya untuk membelikan minuman apa saja yang paling dingin yang ada di sana.

"Wah... Apa dia sudah gila?"

"Kenapa non?"

"Tidak,  aku tidak bicara dengan mu" ucap Ji hwa dan meminum minuman yang di bawakan sang supir.  Rasa dingin yang mengalir melewati leher dan rongga dadanya membuatnya sadar bahwa yang terjadi barusan memang benar-benar nyata. 

"Tenang... Tenang.. Ini tidak nyata hmm.. Ini pasti hanya efek dari kisah romance saja.. Ingat kamu adalah penulis novel romansa.. Hal-hal ini pasti terjadi. Tenang Qianna ..tenang" ucap Ji hwa yang terus saja menenangkan dirinya sendiri. Sesangkan sang supir hanya bisa mendengar dengan bingun karna tak mengenali bahasa yang Majikannya gunakan itu.

***
Cukup berbeda dari sang istri. Sang suami justru merasa sangat bahagia. Persis sekali seorang remaja yang baru saja jatuh cinta.
Hatinya terasa di penuhi oleh bunga-bunga.  Ia bahkan tak berhenti tersenyum. 

Itu tentu bukan ciuman pertamanya.  Ia sudah pernah beberapa kali berpacaran,  tapi seingatnya Ia tak pernah merasa sebahagia ini. 

Dimana udara mendadak menjadi begitu segar,  pemandangan malam seoul mendadak seindah pegunungan yang Ia suka. Bahkan luka di perutnya tak lagi terasa sakit.

Memang benar yang Ia pelajari selama ini bahwa tubuhnya akan merasakan apapun yang otaknya pikirkan. Apa yang Ia pikirkan serasa dapat mengendalikan semesta.

Hormon kebahagian yang mendadak mencuat dengan berlimpah itu membuatnya memandang semua hal menjadi baik. Entah sejak kapan air mineral kemesan menjadi terasa begitu menyegarkan.

Woo Jin menyentuh bibirnya sendiri dan kembali tersenyum. Kemudian Ia menatap pada tangannya yang sudah kembali memakai cincin pernikahan. Harusnya seperti inilah yang Ia rasakan saat menjadi seorang suami pertama kali.

***
Tanpa menyapa siapapun Ji hwa langsung saja bergegas ke kamarnya. Tentu saja hal itu membuat bingung sang ibu.

"Ada apa dengan Ji hwa?"

"Saya tidak tau nyonya.. Wajah nona Ji hwa sudah memerah saat saya jemput. Tadi di dalam mobil juga terus memasang pendingin."

"Pendingin? Di cuaca yang kurang dari 16°c ini?"

Supir itu pun menganggukan kepalanya. Ibu Ji hwa mendadak menjadi gelisah lagi. Ia pun memutuskan untuk melihat anaknya di atas.

Satu, dua ketukan tak mendapat jawaban dari Ji hwa membuat sang ibu memutuskan untuk membuka saja pintu kamar Ji hwa yang tak terkunci. Ia berjalan masuk dan mendapati anak yang sudah uringan-uringan di atas kasur.

"Han Ji hwa?"

Merasa namanya di panggil, Ji hwa pun menoleh.

"Eomma..." rengeknya.

"Wae...wae? Kenapa? Ada apa?" tanya sang ibu dengan khawatir dan bergegas mendekat ke arah Ji hwa. Ia pun duduk di samping Ji hwa.

"Woo jIn..."

"Aish.. Kenapa lagi woo jin? Dia memarahi mu lagi? Mendorong mu lagi? Atau apa? Katakan? Biar eomma yang akan membalasnya.."

Ji hwa menggelengkan kepalanya..

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang