Empat Puluh Tujuh

843 140 52
                                    

Dengan gemetar Qianna menggerakan tangannya, Ia mencoba menggapai ponselnya yang berada dalam keadaan mati. Ia merasakan tubuhnya yang mendingin, sakit dan sangat lemas. Keringat membanjiri pelipisnya bahkan ketika Ia begitu merasa kedinginan.

Cahaya terang yang datang dari ponselnya membuatnya merasa mual, seakan sudah lama sekali Ia tak melihat cahaya. Sakit itulah yang Ia rasakan pada kepalanya.

Ia menjauhkan ponselnya sesaat mencoba membiasakan matanya.

Qianna menelentangkan tubuhnya, Ia mencoba menatap langit-langit kamar kosnya. Perlahan matanya mulai bisa menyesuaikan.
Sebenarnya sudah berapa lama Ia tertidur seperti itu.

Ponsel Qianna terus bergetar, banyak pesan masuk ke dalam ponselnya mungkin kah satu dari pesan itu ada satu pesan saja yang memperdulikannya.

Ia mencoba melihat kembali layar ponselnya setelah menurunkan intensitas cahaya.
Kepalanya terasa sangat sakit bahkan untuk sekedar mengingat tanggal berapakah terakhir berada di kamar ini. Rasanya seperti sudah berbulan-bulan lamanya.

Tubuhnya pasti mengalami dehidrasi dan mal nutrisi karna Ia yang tak makan dan juga tak minum selama berhari-hari. Hingga Ia merasa setiap sarafnya tak terhubung satu sama lain.

Qiaana melihat botol besar berisi air, Ia memutuskan untuk menyelamatkan dirinya terlebih dahulu dengan minum. Barulah setelah ia merasa tenggorokan basah perlahan Ia dapat berfikir. 4 hari sudah 4 hari sejak Ia tertidur kemarin. Sedangkan dalam mimpinya Ia sudah menjalani kehidupan lebih dari tiga bulan lamanya dan itu membuat Qianna merasa semakin mual.

...
...

Qianna sudah nampak membaik meski masih pucat dan juga masih berada di atas kasurnya walapun sudah dalam keadaan duduk menatap ponselnya juga memakan biskuit sisa yang ada di kamarnya.

Ia tersenyum miris saat membaca pesan-pesan itu yang tak ada satupun pesan yang mengkhawatirkannya, seakan-akan jika saat itu Ia mati tak akan ada yang mengetahuinya kecuali bau busuk yang akan Ia keluarkan nanti.
Ya, dia adalah Qianna. Bukan Han Ji Hwa yang ketika menangis saja semua orang turun tangannya membantunya. Dunia nyata memang sangat menakutkan.

Qianna terdiam sesaat, Ia sungguh tak tau harus apa dan bagaimana. Menangis pun sudah tak bisa, Ia sudah menghabiskan semua air matanya tadi.

Pandangannya kini mengedar ke seluruh sudut ruangan kamar yang nampak jelas berantakan saat lampu kamar menyala terang. Qianna menghela napasnya.  Ia sungguh tak ingin mati membusuk di tempat ini. 
Mata Qianna menangkap laptop yang ada di atas mejanya. 

Dengan hati-hati Ia bangun dari kasurnya dan berjalan menuju meja kerjanya, lalu menyalakan laptopnya.  Tujuan pertamanya jelas mencari satu Draft cerita yang bahkan sudah sangat Ia rindukan. 

Qianna membaca lembar terakhir dari cerita yang Ia tulis itu.  Tak ada perubahan dalam cerita itu,  cerita itu masih berhenti saat dia baru saja menyelesaikan operasi dan harus pergi karna ada keadaan emergency.  Itu adalah moment sesaat sebelum Ia kecelakaan. 

Tangan Qianna membuka lacinya dan mengambil beberapa buku catatannya.  Biasanya Ia menulis kerangka ceritanya di sana.  Karakter dan bahkan potongan cerita yang Ingin ia tulis nanti.  Ia terus mencari-cari di dalam setiap buku kisah tentang Han Ji hwa dan Song Woo Jin. 

Sampailah Ia pada buku ketiga dan terhenti di lembar ke delapan. Qianna membaca itu dengan saksama.  Benar seperti yang di duga,  Ia pasti sudah menuliskan kerangkanya.  Ia ingin membuat sosok han ji hwa yang akan mati tanpa Woo jin pernah tau kalau wanita itu mencintainya.  Ia ingat mengapa Ia menulis itu,  mengapa Ia membuat kisah Ji jwa menjadi memilukan,  Ia iri dan benci dengan hidup sempurna milik Han Ji Hwa,  cantik,  pintar,  sukses,  kaya Raya dan memiliki keluarga yang sangat menyayanginya,  hidup tentu tidak boleh sesempurna itu.  Karna itulah Han Ji Hwa harus memiliki akhir yang memilukan. 

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang