Padahal cuaca terlihat baik-baik saja, langitnya biru, awan putih bergumul di atas sana, pun burung-burung camar masih riang berterbangan mencari makan di atas lautan yang ombaknya bergelung cantik.
Tapi, entahlah, aku merasa seperti baru saja mendengar gemuruh petir. Awan mendadak jadi abu-abu, pun langit biru yang tadi senantiasa menemani menghilang dari sorot mataku. Lantas sedetik kemudian, hujan mendadak turun.
Ah, iya. Hujannya turun di tempat lain. Hujan air mata, maksudku. Hujan yang kini membasahi kedua pipi yang berpoles pewarna merah jambu, dengan bibir merah yang bergetar menahan isak tangis.
Aku tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh seperti ini, aku juga tidak suka dengan sifatmu yang terlalu kekanak-kanakan itu. Bahkan kalimat yang kau ucapkan masih terngiang-ngiang di telingaku, padahal aku sudah kau tinggalkan nyaris tiga puluh menit yang lalu.
Ingin rasanya berteriak mengatakan bahwa aku juga tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh, akupun ingin berteriak bahwa ada banyak sekali sifatmu yang tak aku sukai.
Tapi, Tuan. Aku mencoba menerima semuanya, bersabar, bertumpu pada keyakinan yang semakin hari semakin terkikis, pun rasa cintaku yang terus goyah.
Aku tak tahu alasan mengapa kau mendadak berubah, Tuan. Seolah lupa pada janjimu, seolah lupa pada sumpahmu, dan seolah lupa pada semua harapan yang kau tanamkan di kepalaku.
Yang aku tahu hanyalah, aku gagal melupakanmu.
Aku terjebak di antara benci dan cinta, yang nyaris membuatku gila.
Tuan, salahkah aku berharap kau tak bahagia setelah apa yang kau lakukan?
Bengkulu, July 27th 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Cinta, Kita Semua Bodoh dan Buta
Short StorySebuah coretan tentang kita dari sudut pandang yang berbeda, perihal lembaran kisah yang pernah terkoyak oleh kebodohan dan hancur oleh hujan air mata. Mungkin kau tak akan suka cerita ini, aku pun tak berharap kau akan membaca apa yang ada di kepal...