Aku butuh sesuatu untuk mempertahankan kewarasanku.
Terhitung nyaris dua tahun terkurung bersama rutinitas yang menyesakkan.
Pertanyaan-pertanyaan bebal yang menyebalkan.
Orang-orang dengan beragam sifat yang membingungkan.
Pada akhirnya, aku melajukan motorku tanpa sebuah tempat untuk dituju dan melihat bahwa dunia baik-baik saja.
Dunia tak seperti yang aku pikirkan. Dunia baik-baik saja. Dunia baik-baik saja. Hanya kau yang tak baik-baik saja.
Kepalaku berkeliaran memikirkan segala sesuatu yang tak perlu dipikirkan.
Menangislah, kataku pada diri sendiri.
Tidak apa-apa, menangislah. Kataku lagi.
Kupikir aku butuh mengeluarkan air mata atau berteriak untuk melepaskan semua hal yang mengganjal di dalam kepala.
Tapi sayangnya, tak ada air mata yang mau keluar.
Aku bukan orang yang suka melakukan self diagnoses, katanya tak baik, maka tak kulakukan. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku tak mengalami mental illness, aku hanya berpura-pura untuk tak baik-baik saja.
Hanya saja, tak ada yang perduli akan itu semua.
Jangan pikirkan apa yang tak perlu dipikirkan, katanya.
Hingga pada titik di mana pikiranku terlampau penuh, aku kembali bungkam sebab tak mau dikatakan gila.
Langitnya tertutup awan abu-abu. Semuanya sendu. Badai. Pilu. Menyesakkan.
Di awal bulan april, badai malah datang bersama semua duka yang didapatkan.
Menangislah, kataku lagi.
Bengkulu, 9th April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Cinta, Kita Semua Bodoh dan Buta
القصة القصيرةSebuah coretan tentang kita dari sudut pandang yang berbeda, perihal lembaran kisah yang pernah terkoyak oleh kebodohan dan hancur oleh hujan air mata. Mungkin kau tak akan suka cerita ini, aku pun tak berharap kau akan membaca apa yang ada di kepal...