Langit siang hari ini terlihat cantik, pun awan yang mirip seperti gumpalan gula-gula kapas yang bergantungan di gerobak ketika pasar malam berlangsung. Konyolnya, semua hal yang terjadi hari ini tidaklah sesuai dengan suasana hati yang tengah coba aku lalui.
Seseorang yang aku pikir bisa menjadi penopang ketika aku hampir terjatuh pada dasar kewarasan, memilih acuh, lalu menghilang. Ingin mengeluh pada yang lain, hanya saja aku paham, bahwa yang punya masalah di hidup ini bukan cuma aku seorang.
Ya, aku bisa menghadapinya. Begitu kalimat yang coba aku sugestikan ke kepalaku saat ini, namun gagal. Kesedihan itu sudah hampir memakan habis semua kewarasanku, menenggelamkanku pada kegilaan yang berbalut afeksi menyedihkan bernama kematian.
Aku bertanya dalam heningnya siang ini, terdiam sembari merenung menatap langit-langit kamar yang penuh dengan sarang laba-laba.
Apakah ketika aku mati, mereka akan merasa kehilanganku?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Barangkali hanya menangis sebentar, lalu lupakan. Karena yang mati, tidak bisa hidup lagi. Dan yang hidup, harus terus melanjutkan hidupnya sekalipun menjadi manusia yang tak berarti.
Aku ingin egois agar tidak ada lagi kesedihan yang aku hadapi, hanya saja aku berpikir, aku adalah manusia paling bodoh yang hanya bisa membiarkan tanpa memperdulikan diriku sendiri.
Nyatanya, aku tak selalu bisa mendapatkan balasan atas apa yang aku berikan, ataupun lakukan. Sebab manusia itu egois, dan sayangnya, aku bukanlah manusia.
Bengkulu, October 6th 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Cinta, Kita Semua Bodoh dan Buta
Historia CortaSebuah coretan tentang kita dari sudut pandang yang berbeda, perihal lembaran kisah yang pernah terkoyak oleh kebodohan dan hancur oleh hujan air mata. Mungkin kau tak akan suka cerita ini, aku pun tak berharap kau akan membaca apa yang ada di kepal...