Teror?

319K 33.5K 5.2K
                                    


"Saya tidak menyalahkan niat Anda datang ke sini, tidak ada yang bisa menyalahkan kepada siapa kita menjatuhkan hati, tapi tidak setiap keinginan kita harus terpenuhi. Saya beranggapan jika Anda adalah wanita cerdas dan terhormat, tapi ucapan Anda yang membanggakan diri sendiri jelas tidak bisa saya percaya, dimana kehormatan Anda sebagai seorang muslimah? Anda merendahkan istri saya dan menganggap diri Anda lebih baik dari segi manapun, apakah wanita terhormat memiliki sifat seperti itu?"

Gus Ali mengepalkan tangannya, ia berusaha meresam emosinya.

"Saya menghargai perasaan anda, tapi maaf saya tidak bisa membalasnya, terlebih setelah mengetahui sifat asli anda. Saya tidak bisa mengkhianati istri saya dan tidak akan pernah, anda dan orang tua anda boleh saja menganggapnya hina, tapi bagi saya dia adalah wanita terbaik yang pernah saya kenal, dia adalah istri saya dan saya tidak ridho jika ada yang menghina nya satu kata pun, karena itu sama saja dengan menghina saya."

Gus Ali mengeluarkan semua unek-uneknya, tidak ada nada membentak sedikitpun, tetapi setiap kata yang diucapkan'nya penuh dengan penekanan, tepat menusuk hati si pendengar.

Alisa sendiri sudah menangis, bukan karena ia lemah, justru karena dirinya tidak bisa menahan emosi, ia tidak percaya jika orang yang selalu menjadi panutan semua santriah di pesantren kakek nya ternyata memiliki sifat yang bertolak belakang, apakah kebaikan dia selama ini hanya topeng? Atau justru dia memang baik, tapi cinta malah membuatnya gelap mata?

Apakah sebesar itu pesona Gus Ali, hingga Ustadzah Syifa rela merendahkan kehormatan nya sendiri?

Ustadzah Syifa sendiri sudah menangis terisak, entah karena menyadari kesalahan nya dan merasa malu, atau justru tengah berusaha mengambil simpati keluarga suaminya.

"Gus, sa-saya tidak bermaksud—"

Plakk.

Satu tamparan keras melayang ke pipi Ustadzah Syifa, siapa lagi kalau bukan Alisa yang melakukan nya.

Umi Aisyah sampai terhenyak menyaksikan perbuatan menantunya, begitu juga dengan Abi Abdurrahman dan Gus Ali. Gus Ali merasa kecolongan karena tidak berhasil mengamankan istrinya, ia sudah sangat hafal tingkah Alisa jika tengah dikuasai amarah.

Alisa mencengkram wajah Ustadzah Syifa membuatnya meringis kesakitan, Alisa tidak pernah main-main dalam berbuat, dan tidak akan melepaskan mangsa nya begitu saja.

"Lo, munafik! Jangan harap lo bisa langkahin lagi kaki lo di Pesantren kakek gue, camkan itu!"

Hilang sudah batas kesabarannya, Alisa sudah tidak tahan lagi untuk berkata kasar.

Setelahnya Alisa pergi begitu saja meninggalkan ketegangan di rumah mertuanya, Gus Ali segera pamit dan menyusul Alisa.

Memang tidak ada yang bisa menyalahkan persoalan hati, hati tidak bisa di cegah kepada siapa ia berlabuh, namun bukan berarti yang dituju itu adalah pelabuhan terakhir, bisa saja itu hanyalah tempat singgah sementara. Lantas, apakah kita akan tetap memaksa untuk menatap dan tidak melanjutkan perjalan hidup yang sebenarnya masih panjang?

Saya mencintai nya, saya menginginkan nya, tapi kenapa saya tidak bisa bersamanya? Kenapa saya tidak bisa memilikinya? Bukankah semua hal harus diperjuangkan? Lantas, kenapa perjuangan yang saya lakukan disalahkan?

Suami Rahasia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang