Rasa Takut yang Tak Terkendali

601 100 3
                                    

AUTHOR' S POV

Gadis yang berdiri diujung lorong dimensi itu memiliki segala hal yang Fianna miliki. Mata ungu. Rambut hitam. Bentuk wajah. Bentuk mata. Satu-satunya yang tak dimiliki imitasi itu hanyalah tinggi badan Fianna---yang tingginya sudah nyaris setara dengan Hanji.

Mata tajam Fianna menyipit ragu. "Siapa kau?"

"Aku Fianna Hyacinth Ackerman. Putri tertua dari pasangan Jèrgens Ackerman dan Diany Flicker." Ujarnya jemawa. Fianna merasa familiar dengan cara gadis imitasi itu bicara. 'Aku dulu selalu berkata begitu ketika ditanyai orang', batin Fianna.

"Itu aneh. Karena namaku juga Fianna Hyacinth Ackerman." Balas Fianna semakin bingung. Perlahan dia berjongkok agar bisa menyamakan tingginya dengan si gadis kecil.

"Tentu saja. Karena kita ini sejiwa. Tapi aku bukan gadis remaja penyendiri sepertimu." Ujarnya tegas sambil menjejakkan satu kaki.

"Kenapa kau ada disini?" Tanya Fianna lagi. Gadis berumur 17 tahun itu masih merasa asing pada pecahan jiwanya sendiri.

"Ibu menyuruhku untuk menyelamatkan diriku sendiri. Makanya aku disini." Gadis kecil itu mengangkat bahunya dan menatap langsung mata Fianna. "Kau juga, kenapa bisa ada ditempat ini? Bukannya kau seharusnya ada di dunia nyata dan menyesali segalanya?" Tanyanya sinis.

"Itu sedikit kasar untuk dikatakan seorang gadis kecil berumur 6 tahun." Fianna menaikkan alisnya sebelah. "Dan juga, aku tak seketus itu saat aku masih seumuran mu."

"Percayalah, kau bicara seperti itu setiap kali berhadapan dengan sesuatu yang tak kau sukai." Ujarnya meyakinkan. "Kalau tidak, mana mungkin cara bicaraku jadi seperti ini."

Sekali lagi, Fianna menaikkan alisnya sebelah. "Kau tak suka padaku ya?"

"Ding dong~ 100 untukmu."

"Kenapa?" Tanya Fianna lagi.

"Karena aku benci penyesalan. Bukannya itu sudah jadi motto kita selama ini? 'Ambillah keputusan yang tidak akan kau sesali nantinya', selama ini kita bergerak dengan mengingat kalimat itu." Mata ungu gadis kecil itu menyipit ketika menambahkan, "jadi kenapa kau menyesal karena telah membawa keadilan pada kematian keluarga kita?"

Fianna tertegun. Membiarkan keheningan mengelilingi mereka selama 5 menit. Tapi itu tak bertahan lama, karena gadis kecil itu kembali bicara.

"Disaat-saat terakhir itu, kita memutuskan untuk melenyapkan mereka agar tak ada lagi keluarga yang bernasib sama dengan kita. Jadi keputusan itu sudah tepat. Lantas kenapa kau menutup diri karenanya?"

"Karena itu salah. Mungkin tidak untuk Beast, tapi bagaimana dengan orang lain yang kubunuh malam itu? Mungkin saja beberapa dari mereka dipaksa atau diancam untuk bergabung dalam pembantaian itu. Dan... dan aku membunuh mereka. Bukankah itu terlalu kejam?"

Gadis kecil itu tak membantah. Maupun bicara barang sekata selama 5 menit. Sampai akhirnya Fianna kembali buka mulut.

"Orang-orang itu bisa saja lebih baik dibandingkan diriku yang bisa dengan mudahnya mencabut jantung mereka tanpa tahu lebih dulu alasannya."

"Membunuh mereka itu tak ada bedanya dengan berburu dihutan." Sambar gadis imitasi tersebut. "Memburu atau diburu. Kesempatan untuk menghabisi mereka sudah diberikan padamu sejak kau sadar bahwa Beast membawa pisau. Bahkan ibu tak ragu menghajarnya langsung."

"Itu berbeda!" Tegas Fianna. "Biar kuperjelas padamu tentang itu. Pertama, yang kita buru itu adalah hewan tak berakal. Jadi itu tak bisa disamakan dengan membunuh manusia. Yang kedua, ibu hanya membuat Beast tak sadarkan diri. Tidak sepertiku yang langsung membunuhnya."

WOUNDED FLOWER (Attack On Titan X OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang