Amethyst

686 114 42
                                    

FIANNA' S POV

Aku terbangun diatas ranjang disebuah ruangan yang terkesan familiar. Semuanya terasa hangat... dan nyaman. Terutama ketika tau baju basah yang sangat dingin kemarin telah berganti menjadi sebuah baju kaus krem pucat.

Tanganku terasa hangat sekali. Dan aku tau apa yang membuatnya jadi seperti itu. Ketika aku melihat dia tertidur seperti itu, aku jadi sedih. "Lagi-lagi aku merepotkanmu." Bisikku. "Kau pasti lelah Yato."

"Berterima-kasihlah padanya." Ujar sebuah suara. Sang pemilik suara ini sedang berdiri diambang pintu dengan selimut yang terlipat rapi ditangannya.

Kakek Levi.

"Dia urung meninggalkanmu disini selama kau tak sadarkan diri dan menyumbangkan 200 cc darah. Yeah, kau kekurangan darah karena tubuhmu 'kaget'." Terangnya sambil menyelimuti Yato dengan selimut yang ia bawa.

"Apa yang terjadi padaku?"

"Aku tak begitu mengerti. Mungkin Mata-Empat bisa membuatmu mengerti nanti jika ia sempat datang kemari." Kakek mengernyit melihatku terlihat begitu tenang. Satu-satunya penyebab mengapa aku begini adalah karena tenagaku terkuras habis.

Yato bergumam pelan dan mengeratkan genggaman tangannya padaku. Seakan dia takut aku akan pergi. "Aku akan membawa sesuatu untuk kau makan."

Ini rasanya salah. Kurasa aku harus mengatakan sesuatu daripada mengunci mulut setelah apa yang terjadi. "K-kapten... aku---"

"Diam dan istirahat. Bicaranya nanti saja."

Dia marah. Alasannya? Well, aku bisa menerkanya sedikit. Antara rasa kecewa padaku karena berbohong, atau merasa jijik karena aku yang merupakan kegagalan ini adalah keturunannya. Aku tak bisa menebaknya. Karena dua-duanya sama-sama terlalu buruk untuk menjadi kenyataan.

Kakek datang dengan sebuah nampan ditangannya. Pelan-pelan ia perbaiki posisi tidur Yato yang tampak sangat tidak nyaman itu dan menarik kursi kayu disudut ruangan. Ada semangkuk bubur dan segelas air hangat dengan sebungkus obat sebagai pencuci mulut.

"Makan." Aku melakukannya. Mood kakek sudah buruk dan itu karena aku. Jadi menurutinya sekarang akan menjadi tindakan yang bagus.

Dan setelah semangkuk bubur itu tandas, dia menyerahkan satu pil biru putih. Ibuku adalah seorang dokter, jadi aku tahu obat apa yang sedang ia berikan padaku sekarang.

Morfin. Kuharap aku tak kecanduan dengan benda ini nantinya. Tapi Morfin menumpulkan ujung rasa sakit yang menusukku semenjak aku bangun.

"Ada yang ingin kau tanyakan?"

Aku diam sejenak sebelum bertanya, "sudah berapa lama aku tertidur didalam es?"

"7 bulan. Sepanjang musim semi."

"Itu... cukup lama." Tapi terasa seperti 48 jam bagiku. Ini takkan ku beritahu padanya. "Apa yang terjadi setelah aku membeku?"

"Winston menangis. Aku bingung. Erwin dan Hanji juga. Mike terluka cukup parah. Tak ada korban jiwa selain Vassago. Tamat." Aku mengangguk mengerti. Aku lupa kalau orang ini sangat sederhana meski tampilannya... keras. "Ada lagi?"

Aku menggeleng. Hanya itu yang ingin kuketahui.

"Baiklah. Giliranku untuk bertanya. Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Aku baik. Hanya sedikit pusing dan lemas." Dia mengangguk sekali.

"Kau nyaris mati." Apa? "Kalau saja anak ini tak mendonorkan darahnya padamu kemarin, kau pasti sudah berada 2 meter dibawah tanah."

"O-oh..."

"Hanya itu? Kau hampir mati dan reaksimu hanya 'oh'?"

Aku menunduk menatap wajah lelah Yato. Apa yang kakek harapkan dari orang yang nyaris disetiap harinya pasrah akan kematian? "Aku..."

WOUNDED FLOWER (Attack On Titan X OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang