Kemarahan yang Berkabut

648 110 19
                                    

AUTHOR' S POV

Fianna menyentuh pipinya yang ditampar oleh Levi. Terasa panas dan perih. "Aku memang bukan ayahmu! Tapi kenapa kau tidak membiarkanku cemas walau sedikit?!"

Fianna diam dan raut wajahnya amat terkejut. Dia tak pernah memperkirakan sedalam apa kepedulian Levi padanya. Dan Fianna langsung melihat sosok ayahnya didalam diri Levi yang tengah membentaknya dengan keras.

Mereka benar-benar mirip...

"Kau ingin tahu mengapa aku bersikap sekeras ini?" Levi kembali memegang bahu gadis itu dengan kuat. "Entah bagaimana aku merasa bahwa aku tak ingin melihatmu mati... atau-pun terluka."

Ketika Levi kembali menegakkan wajahnya, ia melihat air mata menggenangi sudut mata Fianna. Wajahnya bukan menyiratkan kesedihan, tapi lebih ke rasa terkejut. Fianna berpaling dan memejamkan matanya. Ingin menutup diri dari Levi yang menuntut kejujuran.

"Tapi kau terlalu bodoh untuk sadar...!" Desis pria itu yang kemudian beranjak dan membalikkan badannya. Tapi ketika ia hendak berjalan, suara Fianna muncul dengan pelan.

"Kau takkan paham..." bisik Fianna, mulai menanggalkan kesopanannya pada Kapten itu. "Kau pikir mudah bagiku untuk diam dan menonton kalian mati...?"

Levi tak bergerak, terdiam melihat amarah Fianna yang intens. Tapi lelaki itu tak takut ataupun mundur. "Dan kau pikir aku bakalan diam saja melihatmu hancur demi distrik?"

"Kau, dan aku... kita bukanlah adik kakak, atau ayah anak... bahkan sekarangpun kau bukan lagi atasanku... jadi hak-mu untuk memerintahku sudah tak ada." Desis Fianna dengan sedikit isak yang dalam.

Levi menggertakkan giginya kuat-kuat dan mengacungkan pedang setipis silet didepan wajah Fianna. "Aku, Kapten pasukan khusus pasukan pengintai, mencabut hakmu sebagai sukarelawan dimisi ini. Kerja kerasmu tak lagi dibutuhkan sekarang."

Fianna mengerti apa yang sedang dikatakan oleh Levi. Pria itu menggunakan hak serta otoritasnya pada penduduk---yang mana merupakan status Fianna sekarang ini---agar dia mampu menekan Fianna. Mencegahnya untuk pergi ke medan perang.

Fianna bergerak perlahan, berusaha berdiri dengan goyah dan menatap Levi seperti binatang buas yang terluka. Mata ungunya berkilat-kilat menantang. "Aku... masih seorang tahanan tingkat atas, jadi---" Syat!! Fianna melesat secepat kilat dan permukaan belati es yang dingin langsung menyentuh leher Levi. Tapi tidak sampai mengiris. "---Wajar jika tahanan sepertiku memberontak kan?"

Levi sama sekali tak kaget, malahan dia sudah memperkirakannya. Terbukti dari pedangnya yang terbalik sudah berada dibelakang pinggang ramping gadis itu. Mata Levi dan Fianna sayu dan terlihat ingin merobek jiwa masing-masing.

"Kau berani menggertak seorang aparat militer?" Tanya Levi datar. Seakan emosi yang menyelimutinya lenyap entah kemana.

"Jika itu menguntungkanku, kenapa tidak?"

"Apa aku harus menendang kepalamu agar kau mengerti?" Tanya Levi lagi, ingin memastikan niatan gadis itu.

"Aku mengerti niatanmu, tapi aku tak bisa menelannya mentah-mentah." Fianna terus menempelkan belati esnya dileher Levi. "Aku hanya meminta pengertianmu akan satu hal."

"Dan apa itu?"

Fianna diam sejenak, dan memejamkan matanya. Lantas berkata datar, "aku muak jadi orang yang mampu bertahan hidup."

Levi menaikkan alisnya. "Apa karena kau satu-satunya yang berhasil selamat ketika keluargamu dibantai?"

Fianna tersentak, membuat kilat angkara murka di matanya sedikit memudar. "Mulut Yato kadang tak bisa diam." Komentar gadis itu sarkas.

WOUNDED FLOWER (Attack On Titan X OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang