DdK▶46

1.4K 102 33
                                    

Maaf jika banyak typo🍎




▶◽◀




Aku titip putraku padamu.
Aku tahu, mungkin kamu sangat benci.
Tapi tolong, jangan benci anak ini.
Dia sama sekali tak bersalah.
Tolong kamu besarkan dia dengan baik ya, rawat dia seperti anakmu sendiri.
Dan...
Untuk Suho, jika membaca pesan ini,
Jangan pernah sekalipun menyalahkan Jisoo atau memarahinya.
Dia istrimu, sayangilah dia.
Aku sadar, yang kita lakukan ini salah dan telah menyakitinya.
Sekarang...
Ayo berubah
Lupakan aku, dan rawat anak itu dengan baik bersama istrimu.
Anggap dia seperti anak kalian berdua.
Aku akan menjauh, dan membiarkan kalian hidup bersama.
Aku menyayangi anak itu, sangat menyayanginya.
Tolong jaga dia baik-baik.
Aku minta maaf, karena telah mengganggu hidup kalian.

Sudah dua hari setelah kelahiran putranya, tetapi Suho masih teringat pesan Irene.

"Bagaimana bisa berubah? Kita saja masih terikat," gumam Suho memandang cincin di jarinya.

Ada dua cicin di jari manisnya. Suho memang tak pernah melepas kedua benda berbentuk lingkaran itu. Rasanya memang sulit untuk melepas salah satu. Karena Suho menyayangi keduanya.

Bilanglah Suho serakah, egois. Tetapi itulah yang ia rasakan. Ia menyayangi Irene, terutama anak mereka. Tetapi ia juga tak bisa pisah dari Jisoo, karena ia juga menyayangi perempuan Kim itu.

Pintu ruang kerjanya terbuka. Menampakkan Jisoo yang tampak cantik dengan dress rumahannya.

Perempuan Kim itu berjalan mendekat suaminya. Memainkan jarinya dengan gelisah.

"Dia sudah tidur?" Tanya Suho.

Jisoo mengangguk. "Dia udah tidur,"

Rasanya sangat canggung setelah apa yang terjadi diantara mereka.

"Suho..." panggil Jisoo.

Suho menatap Jisoo dengan tatapan tenangnya.

"Aku lelah," ujar perempuan Kim itu pelan. "Aku lelah dengan anak itu," lanjutnya.

Suho paham, ia berdiri menghampiri Jisoo dan memeluknya. Jisoo membalas pelukan suaminya itu, dan mulai mengeluarkan isi hatinya.

"Dia terus menangis, sangat sulit rasanya mengurusnya," mata Jisoo berkaca-kaca. "Apa mungkin dia tahu, kalau aku bukan ibunya?"

Suho hanya diam dan mengusap punggung istrinya itu.

"Aku tidak membencinya Suho, sungguh aku tidak membencinya. Tapi kenapa dia seolah tak mau aku sentuh?" Jisoo menangis di pelukan Suho. "Aku lelah...." lirihnya.

"Sstt.... ini baru dua hari. Lama-lama, dia pasti bisa terbiasa," Suho menenangkan Jisoo.

"Tapi bagaimana jika tidak? Dia sesalu menangis saat aku sentuh. Tapi berbeda jika kamu yang bersamanya," ujar Jisoo mengingat ketika Suho yang berusaha menenangkan bayi itu. "Apa aku nggak pantes jadi ibu?" Lirih Jisoo.

Suho melepaskan pelukannya, tatapannya dengan Jisoo bertemu.

"Kamu nggak boleh begitu,"

Jisoo menunduk. "Tapi dia benar-benar nggak nyaman sama aku, padahal... aku juga berusaha menyayanginya. Aku nggak akan benci sama dia, aku janji"

"Aku tau," Suho memeluk Jisoo kembali.

"Kita harus lebih sabar lagi," ujar tenang lelaki Kim itu.

Ia juga lelah. Setiap saat ia selalu teringat Irene, ditambah dengan tangisan anaknya yang sering terdengar. Belum juga ia memikirkan perasaan Jisoo. Suho lelah, tapi bahagia. Setidaknya, rumahnya tak sepi lagi dan ia bisa merasakan repotnya mengurus bayi.





▶◽◀



"Terima kasih sus," ujar Irene pada suster.

Hari ini baru diijinkan pulang dari rumah sakit. Itu karena keadaannya tiba-tiba drop setelah melahirkan. Tidak, Irene tidak pergi dihari itu. Ia bersembunyi di kamar mandi yang ada di ruangan tersebut. Tepat setelah Jisoo dan Suho pergi, tiba-tiba Irene pingsan dan harus dirawat.

"Sama-sama bu," ujar suster itu.

Irene tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia sangat merindukan anaknya. Irene hanya melihatnya sebentar, bahkan nama saja Irene tidak mengetahuinya.

"Ibu merindukan putra ibu ya?" Tebak suster hati-hati.

Mengangguk apa adanya, Irene memang tak bisa berbohong dalam hal ini. Mengingat tak ada satu jam ia bersama putranya, dan harus berpisah secepat itu juga.

Suster itu menepuk pelan pundak Irene dan tersenyum.

Irene membalas senyumnya, setelah itu ia pamit pergi. Perutnya masih terasa sedikit sakit, tapi Irene harus kuat untuk sampai di halte.

"Irene?" Suara familiar itu membuat Irene menengok kebelakang. Sosok pria yang sukses membuat Irene bertingkah gugup sekarang.






















T. B. C.
Jarinya masih normal buat vote and komen kan? Wkwkwk
🍎😉

Dirimu dan Kamu_end-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang