[54]

241 22 0
                                    

Happy Reading!

~FIGA~

"Garel!"

Bocah kecil yang tengah terduduk di atas sebuah batu yang berhadapan langsung dengan pemandangan danau, dalam sekejap langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk sebuah senyum tipis sebagai tanggapan atas seruan ibunya. Wanita berambut sebahu itu menampakkan senyum yang sama sembari mendudukkan diri di samping putra bungsunya.

"Kenapa kesini sendirian, gak sama abang atau mama?"

Jemari Renata mengusap penuh kasih sayang surai lebat putranya, lama tak mendapatkan jawaban membuat kedua alis wanita itu tertekuk hingga hampir menyatu. "Garel?"

Garel menggeser posisi duduknya hingga berhadapan langsung dengan Renata. Pandangannya terangkat, menatap sang Ibu dengan sorot sendu. "Ma, om Zef meninggal bukan karena kecelakaan tapi karena ayah." Banyak hal yang berkecamuk di dalam kepala bocah kecil itu, bahkan hatinya dipenuhi rasa bersalah tiap kali menatap manik mata sepupunya.

Wajah Renata tidak menampakkan pergantian ekspresi wajah, tetap menampilkan senyum tipis. Meskipun hatinya turut diliputi kesedihan serta rasa bersalah. "Kita doa aja semoga om Zef tenang di alam sana, ya!"

Kepala Garel tertunduk dalam, "Garel bukan anak pembunuh, 'kan Ma?"

Hati wanita itu terasa tercubit mendapat pertanyaan semacam ini dari putranya. Secepatnya Renata menggeleng mencoba menepis segala asumsi yang bercokol di kepala Garel. Jemarinya menangkup kedua pipi Garel kemudian melebarkan senyumnya, "Siapa bilang Garel anak pembunuh? Garel itu anaknya Mama dan ayah."

Keduanya saling berpelukan, menyalurkan rasa kasih sayang yang dimiliki hanya lewat sebuah dekapan. "Ma, jangan pernah tinggalin Garel kayak om Zef, ya?"

Lama pertanyaannya tak digubris membuat kepala Garel menengadah sembari mengurai pelukan keduanya. Bola matanya menyapu keseluruhan tempat sekitar danau ini. Namun, sekalipun bocah kecil itu tak melihat kembali keberadaan ibunya. Bibirnya mengeluarkan teriakan, memanggil ibunya berulang kali dengan jantung yang berdegup kencang.

Garel mempererat cengkeramannya pada tangan sang ibu, lamunannya buyar dalam sesaat. Mengembalikan Garel pada alam bawah sadarnya. Brankar tempat tubuh Renata terbaring melaju cepat di lorong rumah sakit. Akibat mencoba melawan Ariel yang akan menembakkan peluru ke arah putranya, Renata akhirnya menjadi korban. Dada kanannya tertembak, membuat darah bercucuran disana.

Para suster lainnya mulai mengambil alih brankar Renata, dan mempersilakan Garel untuk menunggu di luar ruangan UGD. Kepala Garel menengadah, mencoba mencegah buliran air yang telah berkumpul di pelupuk matanya. Lelaki itu mengusap seluruh wajahnya sembari mendudukkan diri di kursi rumah sakit.

Dada Fiola terasa sesak, menyaksikan Garel di dalam titik terendahnya. Mengesampingkan kondisi kepalanya yang pening, Fiola meminta Sania yang telah berada di rumah sakit untuk membantunya berjalan menghampiri Garel. Dengan gerakan pelan, Fiola mendudukkan diri dan mengusap pelan bahu Garel yang terasa bergetar. Langsung saja, Fiola menghantarkan tubuh Garel ke dalam dekapannya begitu pandangan keduanya bertemu di satu titik.

"Kamu boleh nangis, karena gak selamanya manusia harus menunjukkan sisi kuatnya."

Jemari Fiola bergerak pelan mengusap punggung Garel bersamaan dengan matanya yang terpejam sesaat. Pandangan Fiola mulai kembali memburam disaat tangisan Garel telah tumpah. Untuk pertama kalinya Fiola mendapati cowok itu dalam keadaan terisak. Hatinya ikut perih, rasa takut Garel kehilangan ibunya sama besar dengan yang dimiliki Fiola. Terakhir kali Garel menangis sejadi-jadinya seperti ini saat ayahnya mengalami kecelakaan dan harus menerima fakta jika ayahnya telah pergi menemui Tuhan.

FIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang