37

5.6K 577 15
                                    

HAPPY READING GUYSS
.
.
.
.
.

Dentingan sendok dan kecapan makanan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di agenda sarapan keluarga pagi ini. Keheningan yang amat menyiksa bagi Yasinta sampai membuatnya susah untuk menelan makanannya sendiri. Tidak ada suara cerewet dari Nike dan tidak ada guyonan yang selalu membuat Yasinta tertawa karena Danu, kini di meja makan itu hanya ada tiga manusia yang sibuk dengan makanannya masing-masing.

Yasinta melirik Nike dengan sendu. Ternyata lebih baik dimarahi daripada hanya didiamkan saja, kata itu mungkin cocok untuk Yasinta saat ini. Sudah hampir seminggu Nike mendiamkan Yasinta, tidak ada sepatah katapun yang terucap untuk mengobati rasa rindu saat Nike dengan hangat berbicara kepadanya.

Prang!

Tapi, manusia juga mempunyai batas kesabaran. Yasinta yang terus disalahkan atas perbuatan yang bukan diperbuatnya lama-kalamaan menjadi muak. Jika boleh jujur, jauh di dalam lubuk hatinya, Yasinta menyimpan luka atas semua kejadian yang menimpanya belakangan ini, luka yang menganga seakan tersiram air garam saat menghadapi sikap Nike terhadapnya.

Seakan tidak dapat lagi membendung kekesalannya, Yasinta dengan berani melempar piring makannya ke lantai keramik rumahnya. Yasinta lelah menghadapi kenyataan yang tidak pernah memihak kepadanya.

Alasan Nike mogok berbicara dengan Yasinta tidak lain tidak bukan karena percaya pada surat skorsing dari Sekolah. Sebenarnya Yasinta kecewa saat Nike malah menuduhnya merokok.

"Apa-apaan kamu Yasinta?" suara dingin nan tegas itu membuat sesuatu dalam diri Yasinta bergetar. Akhirnya Nike membuka suara untuknya.

"Ternyata harus begini dulu agar Mama mau ngomong sama Yasinta." Yasinta berdiri menatap Nike dengan senyum kecut.

"Yasinta, duduk kembali," perintah Danu. Suara bariton itu mengintrupsi Yasinta untuk segera duduk seperti semula.

"Kalau Mama mau aku merokok, aku siap merokok." Yasinta mengambil tas sekolah di kursi sampingnya dan langsung bergegas pergi dengan kilatan mata marah.

"Yasinta jangan buat Papa kecewa sama kamu," Danu mengeraskan suara.

"Yasinta berhenti kamu!"

"Yasinta!"

Yasinta sama sekali tidak menghentikan langkah, rasa sesak di dada lebih dominan saat Nike meneriakinya seperti itu. Bulir-bulir bening yang akan menetes dari matanya sebisa mungkin Yasinta tahan, walau pada akhirnya terjun bebas dari sana.

Yasinta melihat Pak Arman, sopir yang sering mengantarkannya kemanapun ia pergi. Dengan cepat Yasinta masuk ke dalam mobil yang telah siap untuk mengantarnya ke Sekolah.

Tidak ada yang dapat dilakukan Yasinta kecuali menangis sesegukan, ia tidak mempedulikan Pak Arman yang sedang menatap khawatir karenanya. Bahkan Yasinta tidak peduli jika wajahnya akan telihat kacau.

Menangis mungkin hanya akan membuat Yasinta terlihat begitu menyedihkan, lemah, dan cengeng. Yasinta bahkan menyadari menangis bukanlah hal untuk mengubah suasana hati menjadi lebih baik. Tapi, Yasinta memilih menangis untuk mengungkapkan rasa pahit yang sedang dihadapinya.

"Pak, Yasinta cantik nggak?" tanya Yasinta disela isakannya.

Pak Arman dengan cepat mengangguk, "iya, Neng Yasinta cantik banget."

Yasinta bergumam pelan. Tangannya merogoh isi di dalam tas untuk mengambil seusatu, terlihat gunting kecil berwarna hijau yang Yasinta baru saja keluarkan dari dalam tasnya. Gunting yang sengaja ia bawa dari rumah itu Yasinta tatap dengan cukup lama.

Yasinta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang