Happy reading guyssss :D
.
.
.
.
.Geri berjongkok tepat di samping nisan yang kini telah penuh ditaburi oleh bunga. Berkali-kali Geri menghapus air mata yang membasahi pipinya, Geri masih merasa sedih setiap kali datang ke makam Ayahnya, rasanya masih sama seperti saat pertama kali Geri mendengar kabar bahwa ayahnya telah tiada.
Dadanya masih saja sesak, tidak bisa dipungkiri Geri sangat rindu dengan sosok yang paling ia kagumi itu, sosok Ayah yang memberi tawa sehingga melupakan beberapa hal yang tidak ingin ia rasakan, hal yang paling menyedihkan.
"Seandainya Papa masih bernapas, mungkin sampai detik ini aku tidak akan pernah merasakan kesulitan," lirih Geri.
"Papa yang tenang di sana jangan khawatirin Mama, Geri janji akan menjaga Mama di sini.".
Geri mengadah melihat langit sore yang masih tampak cerah, berbeda dengan suasana hatinya yang kian mendung. Geri berusaha keras untuk tersenyum, walau air mata terus bercucuran keluar, rasanya Geri malu dengan alam karena tidak seperti dirinya yang memancarkan sinar luka, alam terlihat lebih cerah.
"Maafin Geri ya Pa, Geri hidup menjadi orang yang payah, tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk Mama. Maafin Geri karena masih bergantung pada Kakek." Geri menutup mata, mencoba menetralkan sesuatu dalam dirinya agar tidak semakin memburuk. "Geri ingin membenci semuanya, tapi Geri tidak ada hak untuk membencinya. Pa, Geri harus apa agar Geri bisa menyusul Papa tanpa membuat Mama merasa kehilangan."
Geri menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan yang bersangga di lutut. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Geri tidak mengerti apa yang terjadi pada hidupnya, rasanya Geri ingin menumpahkan keluh kesahnya terhadap sosok Ayah tempatnya bercerita sewaktu kecil dulu.
"Ngomong apa kamu? Kalau mati adalah pilihan terbaik, kenapa tidak dari dulu kamu saya bunuh."
Geri terkejut, ia cepat-cepat mengangkat kepala dan menoleh ke samping, melihat siapa yang berbicara seperti itu terhadapnya. Geri agak bergeser ke samping, ia menegang tatkala melihat siapa yang datang.
"Dangkal sekali pikiran kamu, ini yang saya tidak suka dari kamu, terlalu menggampangkan kehidupan. Padahal saya tau kamu paham bahwa hidup cuma satu kali dasar bodoh," caci Tyo yang sudah duduk di samping Geri.
Geri kembali menghapus air matanya, mata sayu itu menatap Tyo yang kini tengah melihat makam sang Ayah. Geri menutup rapat bibirnya, tidak tau harus menjawab apa.
Rasa canggung menghampiri Geri, padahal jika orang lain bertemu dengan Kakeknya sendiri tidak akan secanggung ini, tapi Geri berbeda. Dengan berat hati Geri berdiri ingin beranjak dari sana. Sejujurnya Geri masih ingin berlama-lama melihat makam Ayahnya, tapi hal itu harus ia relakan tatkala kehadiran Tyo.
"Duduk," perintah Tyo membuat Geri menghentikan langkahnya. "Kamu pergi karena ada saya?"
"Tidak," bohong Geri.
"Duduk, jangan sampai saya mengulangi perkataan saya sekali lagi."
Geri menghela napas pelan, dengan malas ia kembali duduk di samping Tyo, menatap pusara Ayahnya tanpa berkedip. Angin berhembus sepoi-sepoi menggerakkan rambut dan baju Geri, hingga membuat lelaki itu menyisir rambut ke belakang menggunakan jarinya.
"Kamu mengaku kalau masih bergantung pada saya?" tanya Tyo sedangkan Geri hanya diam. "Saya dengar kamu ingin membenci semuanya? Maksudnya apa? Saya tidak tau kalau kamu selebay ini."
"Saya sedang tidak ingin ribut," ujar Geri ketus.
"Siapa yang ingin mengajak kamu ribut? Saya ke sini hanya ingin melihat makam anak saya," jawab Tyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasinta (SELESAI)
Teen Fiction⚠️PRIVATE ACAK FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Gimana rasanya gadis yang kita cintai malah mempermalukan kita di depan banyak orang? Ini kisah benci jadi cinta atau cinta jadi benci? Di saat Geri mengungkapkan perasaan dengan surat cinta, tapi Yasinta mala...