48

4.9K 553 26
                                    

HAPPY READING GUYSSSS
.
.
.
.
.
.

Di sinilah Geri, duduk di tengah-tengah antara Putri dan Alfian, di depan mereka terdapat seorang pria tua yang kini tidak bisa melepaskan atensinya dari mereka bertiga.

Miris. Geri memandang kecut dua jus mangga, satu kopi, serta pancake yang tersusun rapi di atas meja. Tidak usah diperjelas, Geri pun tau jika jus itu bukan diperuntukkan untuknya, tapi untuk Putri dan Alfian. Dari sana Geri paham, ia seolah tidak dianggap keberadaannya oleh Kakeknya.

"Kenapa minumannya ada tiga? Bukannya di sini kita berempat?" tanya Putri melepas rasa penasaran.

"Kakek lupa pesan untuk Geri. Kakek kira dia tidak akan datang," jawab Tyo, memang ia sengaja memesan terlebih dahulu sebelum Alfian, Putri, dan Geri datang. "Kamu kalau haus pesan saja, jangan takut kalau tidak punya uang, saya yang akan bayar." Tyo beralih menatap Geri.

"Kalau Kakek memang berniat mengundang kami bertiga, seharusnya tidak ada yang dibeda-"

"Saya mau jus alpukat." Belum sempat Alfian menyelesaikan ucapannya, Geri terlebih dahulu memotong dengan cepat.

Alfian menoleh ke samping, mendapati objek yang kini terlihat jelas sangat tidak nyaman berada di sana. Alfian mengerti perasaan Geri, jika ia berada di posisi pemuda itu, mustahil jika Alfian tidak bersedih.

"Yasudah, kamu pesan dong. Masa mau nyuruh saya 'kan kamu yang mau minum," omel Tyo.

Tangan Geri terkepal kuat di atas lutut. Ia melihat wajah Tyo dengan sayu, di depannya memang terdapat sosok yang disebutnya dengan panggilan 'Kakek'. Tapi, Tyo jauh dari jangkauan Geri, Tyo tidak mencerminkan bagaimana seorang Kakek yang sesungguhnya, melainkan hanya menganggap Geri seekor semut kecil yang tidak pernah dipandang keberadaannya.

Banyak kata yang ingin Geri keluarkan, untaian yang tersusun dari dalam lubuk hati, ingin memberitahu bahwa dirinya sangat iri terhadap Putri dan Alfian. Namun, seolah ada yang mengganjal tidak mengizinkan bibirnya untuk mengungkapkan itu semua, suaranya tercekat hanya dengan melihat seorang Kakek yang tidak pernah menatap lembut dirinya.

Kakek, tolong perhatikan Geri juga, batin Geri.

"Udah sana pesan minuman kamu, saya tau kamu haus," suruh Tyo.

"Nanti saja." Geri berujar pelan, terselip nada sedih di sana.

Tyo tidak memperdulikan Geri, ia menyesap kopi hitam kesukaannya. Lalu, mata hitam yang telah muncul keriput di sekitaran kelopak matanya memandang Alfian dengan binar, senyumnya tidak luput menyaksikan cucu kebanggaanya itu.

"Alfian gimana sekolah kamu, apa ada kesulitan? Sebentar lagi masa jabatan OSIS  kamu akan segera berakhir, Kakek harap kamu belajar lebih giat lagi untuk persiapan kelas tiga, agar masuk Universitas ternama," tutur Tyo.

"Kakek tenang aja, Alfian cukup pintar kok." Alfian membalas senyum Tyo, sejujurnya Alfian hanya becanda agar Tyo tidak khawatir dengan sekolahnya, tapi sepenuhnya Alfian tidak salah, ia memang salah satu Siswa berprestasi di sekolah.

"Kalau Putri gimana? Kakek harap kamu juga baik di sekolah. Terus kalau ada laki-laki yang mencoba dekatin kamu tetap harus waspada, Kakek tidak mau kamu terluka, kalau ada apa-apa cepat beritahu Alfian."

"Putri mah preman Kek di sekolah, mana ada laki-laki yang mau dekatin dia." Alfian tertawa mengejek.

"Diam lo." Putri menatap garang Alfian. "Tenang aja Kek, 'kan ada Alfian dan Geri yang jaga aku." Putri tersenyum menenangkan.

Salahkah Geri jika ia berharap ingin ditanya juga oleh Tyo? Ditanya bagaimana kehidupannya di sekolah, bagaimana dengan kegiatan basket yang di ketuainya, apakah ada masalah atau kesulitan yang sedang dihadapi, atau nilai-nilai yang ia dapatkan. Tapi, sepertinya itu hanya keinginan yang tak akan pernah terwujud, sebuah angan-angan yang terlalu sakit untuk ia harapkan.

Yasinta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang