32

6K 642 34
                                    


G

eri mengelap ujung bibirnya yang berdarah, baru beberapa menit yang lalu ia menginjakkan kakinya di rumah Tyo, tapi dirinya sudah mendapat bogeman dari sang Kakek. Sebenarnya Geri heran, mengapa bisa Kakeknya yang sudah berumur lanjut itu masih mempunyai tenaga yang cukup kuat.

Untung kesabaran Geri masih belum habis dan masih memandang Tyo sebagai Kakeknya. jika tidak, mungkin Geri sudah membalas perlakuan Tyo terhadapnya, setiap kali Geri datang ke rumah ini, maka setiap itu juga tubuhnya pasti akan meninggalkan bekas luka.

"Coba sekali saja kamu turutin kemauan saya." Tyo menumpukan tangannya di atas meja, sebagai penyangga tubuhnya agar tetap berdiri.

"Kenapa enggak nyuruh cucu kesayangan Kakek saja, saya rasa dia mau kalau Kakek yang suruh," jawab Geri.

"Saya sudah terlanjur menerima ajakan Agung, mau tidak mau kamu harus datang."

"Itu bukan urusan saya, Kakek yang menyetujui makan malam itu, kenapa saya juga yang harus datang? Lagian cucu Kakek bukan cuma saya." Geri yang berdiri di hadapan Tyo hanya mampu memandang mata tajam yang sedang menatapnya balik. "Oh saya lupa, apakah saya masih dianggap cucu di rumah ini?" Geri berdecih.

Geri tau maksud makan malam apa yang diucapkan oleh Tyo, maka dari itu ia tidak pernah sudi untuk datang. Mungkin makan malam itu akan membuat image Tyo terlihat bagus. Tapi tidak untuk Geri, itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

"Kalian berdua kemari," panggil Tyo pada dua orang laki-laki di depan pintu, yang sedari tadi menonton perdebatan antara ia dan Geri.

Dua laki-laki bertubuh tegap itu segera menghampiri Tyo. Keduanya saling pandang saat melihat kilatan marah yang terpancar dari mata Tyo.

"Hajar anak kurang aja ini," perintah Tyo dengan bengis.

Geri mengerjapkan mata beberapa kali saat kedua orang itu mulai mendekatinya. Geri mengambil ancang-ancang Bersiaga sambil terus memundurkan langkanya secara perlahan.

Bugh!

Kepalan tangan dari salah seorang suruhan Tyo melayang mengenai kulit wajahnya. Terasa panas dan perih, Geri yakin pipinya sekarang pasti ada bekas memar berwarna merah.

Ranpa belas kasihan Geri kembali mendapatkan pukulan. Rasanya Geri ingin memuntahkan sesuatu saat tinju melayang ke perutnya dengan sangat kuat.

Geri terusungkur ke lantai, matanya sempat melirik Tyo yang sedang memandangnya dengan ekspresi datar. Geri meringis, sungguh ia benci terlihat lemah di depan Tyo. Dengan sedikit memaksakan diri, Geri berdiri dengan susah payah, ia sama sekali tidak terima dengan perlakuan yang terjadi kepadanya.

"Dibayar berapa kalian sama Kakek tua itu?" Seperti menantang, Geri tidak sungkan menyebut Tyo dengan kata 'tua', bukannya memang benar Tyo sudah tua.

Duk!

Geri menerjang orang di depannya, salah satu dari kedua laki-laki itu tersungkur ke lantai bersama Geri yang langsung duduk atas perut laki-laki itu, dan mengunci pergerakannya agar tidak bisa pergi ke mana-mana.

Geri menjotos berkali-kali dengan sangat kuat, ia tidak peduli dengan laki-laki yang sedang meringis kesakitan itu, walaupun dia lebih tua dari Geri. Tapi, Geri tetap akan membalas rasa sakit yang diterimanya tadi.

Tidak tinggal diam, lelaki satunya yang melihat rekannya di hajar habis-habisan oleh Geri, dengan sigap membantu. Ia menahan tangan Geri yang akan kembali melayangkan tinju, dan menarik Geri untuk berdiri.

Kedua tangan Geri terkunci ke belakang tubuhnya. Dengan masih berusaha Geri mencoba melepaskan dirinya dari orang yang sedang menahannya, tapi terlalu sulit untuk dilakukan.

Yasinta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang