Kehidupan Altaria itu rasanya tidak jauh dari tekanan. Sejak kecil, sebelum adiknya lahir ia sudah diberi tekanan baik itu secara langsung mau pun tidak.
Dilahirkan sebagai seorang anak perempuan membuat keluarga besar memandangnya sebelah mata. Mereka menganggap bahwa anak perempuan hanya lekat dengan kemanjaan, berbeda halnya dengan anak laki-laki. Jadi sedari kecil Altaria sudah dibanding-bandingkan, dikatai-katai dalam konotasi negatif. Dan itu bukan hanya untuk dirinya saja tetapi Mamanya juga.
Terlebih ketika Mamanya melahirkan Helva. Keluarga dari pihak suami Mamanya seakan semakin terang-terangan menolak kehadiran Raline. Mereka menganggap bahwa Raline tidak becus karena tidak bisa memberi anak laki-laki.
Mulai dari situlah Altaria menjadi semakin geram. Tekanan dari keluarga membuatnya tumbuh menjadi anak yang harus bisa mandiri dan mencetak prestasi. Dari ia menginjak bangku sekolah sudah banyak prestasi yang diraihnya. Hingga sekarang pun ia terus berusaha untuk menunjukkan bahwa Mamanya sudah melahirkan anak-anak yang dapat dibanggakan, yang sama sekali tidak mempermalukan keluarga.
Dan seiring berjalannya waktu tekanan dari keluarga, mulut-mulut pedas mereka perlahan hilang hanya tersisa beberapa orang saja yang masih memandang Altaria, Helva dan Raline sebagai aib. Terlepas dari semuanya itu Altaria merasa bangga karena dilahirkan dari wanita lembut dan tangguh.
Altaria menatap Raline yang sedang duduk di depan tv sambil mengemil buah-buahan. Blazer yang dipakainya pun sudah lepas, rambutnya juga sudah terikat asal-asalan. Dengan langkah cepat ia menghambur memeluk Raline.
“Selamat malam, Mamaku yang cantik.”
Raline terkekeh pelan oleh tingkah anak sulungnya. Meski usianya sudah dua puluh sembilan tahun tapi Altaria masih saja manja padanya.
“Selamat malam juga, anak Mama yang cantik.” Raline membalas pelukan Altaria lalu mengecup puncak kepalanya. “Gimana perusahaan hari ini?” Raline mengusap-usap rambut Altaria dengan penuh kasih.
Altaria mendengkus. “Menyebalkan. Padahal ya, Ma. Aku tuh udah kasih kelonggaran buat mereka memperbaiki yang cacat ehh rapat lagi malah belum selesai. Ngeselin banget. Itu titel mereka cuma numpang doang di belakang nama, kerjaan nggak ada yang becus.”
Raline dengan setia mendengar keluhan-keluhan Altaria dalam pekerjaannya. Meski jarang bertemu karena kesibukan putri sulungya. Tetapi sebisa mungkin jika bertemu Raline akan menjadi pendengar setia Altaria dan memberi ketenangan pada putrinya.
“Kamu jangan terlalu keras gitu juga dong. Coba kamu persuasi biar mereka kerjanya itu memuaskan seperti yang kamu mau,” ujar Raline dengan suaranya yang meneduhkan.
Altaria menarik diri dari pelukan Mamanya dan memilih bersandar di sofa, kepalanya sedikit dimiringkan menghadap Raline.
“Nggak ah. Nanti mereka nganggap karna aku toleransi jadinya bikin salah terus.”
“Sayang, pemimpin yang seperti itu disayangi dan disegani sama bawahannya karna bisa mengayomi. Kalo kamu keras terus yang ada mereka takut dan ragu-ragu mau bersikap.”
Altaria menatap Raline dengan cemberut. “Lihat nanti aja deh. Mama masak ‘kan?” Altaria mengalihkan pembicaraan, ia malas membahas soal kerjaan lagi.
Raline mengangguk. “Masak kok. Kesukaan kamu, ikan asam manis.”
Senyuman lebar pun terbit di wajah Altaria. “Mamaku yang terbaik.” Lalu wanita itu segera beranjak menuju kamar untuk membersihkan dirinya dengan cepat. Ia sudah tidak sabar ingin makan makanan kesukaannya itu.
Begitu selesai dengan makan malamnya Altaria memutuskan untuk menghabiskan waktunya di ruang hiburan untuk menonton film. Tetapi baru saja ia hendak beranjak dari ruang makan sebuah suara yang memanggil namanya membuatnya berhenti melangkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altaria [Completed] || Revised
ChickLitMenjadi anak sulung dari dua bersaudara yang mana adiknya merupakan seorang perempuan juga membuat Altaria harus mau menjadi pemimpin perusahaan. Namun sebelum ada adiknya, Altaria sendiri sudah belajar keras dan melatih dirinya nanti untuk kelak me...