Altaria menatap puas pada benda yang ada di hadapannya.
Sebuah lukisan.
Ya, benda yang sudah diincarnya hampir lima tahun adalah sebuah lukisan. Sebuah lukisan payung berwarna merah dengan corak bunga anggrek bulan.
Sejak pertama kali melihat lukisan ini, Altaria langsung jatuh hati. Ia tak terlalu mengerti filosofi sebuah lukisan atau artinya. Tapi bagi Altaria sendiri lukisan ini memiliki makna pelindung baginya. Kelihatannya memang sederhana namun bisa membuat Altaria rela merogoh kocek sedalam mungkin untuk lukisan sederhana ini.
Altaria hobi mengoleksi benda-benda yang memiliki nilai seni baginya, dalam kacamatanya dan juga arti yang diberikan pembuatnya sendiri. Ia tidak asal membeli atau mengoleksi, prinsipnya hanya satu yaitu jatuh cinta pada pandangan pertama maka saat itu akan berada di tangannya. Jika perlu menunggu akan ditunggunya sama seperti beberapa lukisan, guci, vas bunga, tembikar, cermin, miniatur suatu kota dan lain sebagainya.
Mengoleksi benda-benda yang kata orang vintage membuatnya seperti dibawa berkelana ke zaman benda-benda itu dibuat. Ia seperti berada di sana dan menyaksikan kehidupan di sana. Mengoleksi benda-benda seperti itu juga adalah suatu bentuk relaksasi untuknya.
Altaria betah menatap dengan kagum hasil yang didapatnya dan saat sedang asyiknya Altaria menatap lukisan yang baru didapatnya, terdengar ketukan di pintu kayu yang tidak menyentuh cat itu. Altaria tidak menyuruh orang tersebut masuk karena ia tidak suka siapa pun selain dirinya yang boleh masuk ke dalam ruangannya ini. Jadi ia pun melangkah dan membuka pintu.
Maniknya menatap adiknya dengan datar. “Kenapa?”
Helva Sagitta Circini yang mengetuk, perempuan yang jarak usianya tujuh tahun darinya itu menatap Altaria dengan cemberut.
“Dipanggil Mama.”
Altaria mengerutkan keningnya. Ia keluar dari ruangan tersebut lalu menguncinya. Meski dikunci secara manual tetapi jika ingin masuk butuh pengenalan suara dan kata sandi yang hanya Altaria yang tahu.“Mau apa lagi?”
Helva mengendik. “Mama kangen tahu sama Kakak. Kakak, sibuk jadi nggak ada waktu sama Mama,” ceplos Helva yang membuat Altaria mendesah pelan.
Ia tidak memungkiri itu karena memang fakta. Pekerjaannya dan hobinya memang cukup menyita waktunya.
“Mama di mana?” Tanya Altaria sambil berjalan beriringan dengan Helva ke bawah.
Helva menoleh. “Di taman.”
Altaria mengangguk. “Lo nggak ngampus?”
“Nanti besok, dosbingnya baru balik hari ini dari luar kota,” jawab Helva.
Altaria membentuk mulut dalam bentuk bulat. “Udah sampe mana skripsi lo?”
“Bab 4, kalau bab 4 acc masuk bab 5 deh.”
Altaria mengulum senyum lalu merangkul adiknya. “Good. Terus Mama udah tahu?”
Helva menggeleng. “Nanti aja kalo udah mau maju.”
“Gitu ya. Jadi ceritanya kejutan buat Mama?”
“He’em.” Helva tersenyum lebar. Rasanya ia sudah tidak sabar untuk segera memberi kejutan pada Mamanya bahwa anak bungsunya akan segera mendapatkan gelar sarjana strata satu.
Altaria mengusap kepala Helva dengan sayang. “Manis banget sih lo, Dek. Tapi bagus biar Mama dibuat kelimpungan nantinya.”
Helva tertawa pelan. “Nah itu dia makanya gue diam aja selama ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Altaria [Completed] || Revised
Genç Kız EdebiyatıMenjadi anak sulung dari dua bersaudara yang mana adiknya merupakan seorang perempuan juga membuat Altaria harus mau menjadi pemimpin perusahaan. Namun sebelum ada adiknya, Altaria sendiri sudah belajar keras dan melatih dirinya nanti untuk kelak me...