42. Four Years Later

2.8K 302 18
                                    

Altaria berlari kecil di sebuah jalan setapak. Ia akan segera terlambat kalau tidak mau kena omel adiknya.

Dan ternyata ia terlambat lima menit.

“Kak Tira, telat,” gerutu Helva pelan.

Altaria menjulurkan lidahnya mengejek Helva. “Nggak usah overreacting. Lima menit bukan lima jam gue telat.”

Helva berdecak pelan. “Ma, Kakak tuh.”

Raline membawa nampan berisi satu porsi besar ayam panggang lalu menaruhnya di atas meja makan. “Apa?” Raline menoleh sekilas pada Helva lalu menatap Altaria.

Helva merengut karena tidak dibela Raline. Ia memilih menuangkan air putih ke tiga gelas yang ada.

“Kamu bawa pesanan bawa Mama ‘kan, Kak?”

Altaria mengangguk. “Pesanan Mama Ratu.” Altaria meletakkan sebuket bunga daffodil di atas meja makan.

Raline tersenyum lebar melihatnya. “Terima kasih, Tira.”

“Kembali kasih, Mama.” Altaria membalas senyuman Ibunya.

Altaria dan Raline menoleh pada Helva yang hanya diam saja. Kedua alis mereka terangkat.

“Mukanya kenapa itu, Dek?” Tanya Raline lalu mengambil kursi di sebelah Helva.

Helva menatap Ibu dan Kakaknya bergantian. “I miss him,” katanya pelan.

Altaria menahan napas mendengar pernyataan Helva.

I wish he is here with us.”

Raline tertegun sesaat sebelum mengulas senyuman. Ia menahan gejolak dalam hatinya.

Altaria mengabaikan perkataan adiknya, berpura-pura tidak mendengarnya.

“Nah. Semua udah siap jadi sebelum makan mari kita berdoa,” kata Raline dengan penuh semangat.

Altaria mengangguk lalu tersenyum.

Helva menahan dirinya. Ia tidak boleh egois. Ibu dan Kakaknya telah melewati banyak hal dan berat, jadi tidak ada salahnya mereka ingin bebas dan menenangkan diri. Tanpa memikirkan masalah apa pun yang pernah terjadi dalam hidup mereka.

Helva menatap kedua orang itu. Lambat laun semuanya pasti akan terperbaiki, mungkin memakan waktu lama, tapi itu lebih baik dari pada membiarkannya di sana dan menjadi usang.

“Ela, yang pimpin ya?”

Helva mengerutkan keningnya. “Ini ‘kan ulang tahunku. Kenapa aku yang pimpin doanya?”

Altaria berdecak pelan.

Raline tersenyum kecil. “Kakak aja deh yang doa ya?”

Baru saja Altaria hendak berdoa harus tertunda karena mendengar ketukan yang tidak berhenti dari pintu rumah mereka.

Ketiga perempuan itu saling memandang.

Raline pun mengambil inisiatif membuka pintu rumahnya.

“Halo, Sayang-sayangku.” Suara yang memekakan telinga itu menyapa pendengaran Altaria dan Helva.

Helva langsung berdiri dan memeluk orang yang baru masuk itu. “Lian!”

“Abang,” tegur Lian tak ayal membalas pelukan Helva.

Helva tertawa pelan. Ia melepas pelukan mereka lalu menatap Lian dengan jahil. “Nggak cocok.”

Sebelum Lian berdecak ia sudah mendapat pukulan dari siapa lagi kalau bukan Kakak sepupu tercintanya.

Lian mengumpat pelan, “fuck!”

“Mulut, Lian,” tegur Raline. Lian menoleh lalu tertawa masam. “Sorry, Tan. Keceplosan.”

Raline menggeleng-gelengkan kepalanya namun tetap tersenyum.

Lian mengalihkan pandangannya pada pelaku pemukul pundaknya. “Orang jauh datang itu dipeluk kek, dicium, ini dipukul. Sedih amat nasib gue.”

Altaria memutar bola matanya jengah. “Ngapain lo di sini? Yang urusin perusahaan siapa? Terus Delilah nggak lo ajak?”

Lian menarik kursi di meja makan lalu duduk. Ia menatap ke atas meja penuh minat. “Kendra dan Delilah nggak bisa ambil cuti.”

Altaria membelalakan kedua matanya. “Kurang ajar. Sahabat gue lagi hamil dan lo buat suaminya kerja?”

Lian mengerucutkan bibirnya.

Raline mengusap pelan lengan Altaria sehingga membuat Altaria menatap Mamanya. “We have to celebrate your sister’s birthday, Kak.”

Helva ikut menyahut. “Marah-marahnya nanti. Aku udah laper nih.”

Altaria pun mengalah sebelum itu ia mendelik tajam pada Lian yang menampilkan tatapan penuh belas kasihannya.

“Hadiahmu sedang dalam perjalanan,” kata Lian.

Helva menatap Lian. “Sungguh?”

Lian mengangguk.

“Sudah. Kapan kita makannya kalau begini terus?” Raline tentu saja yang menengahi obrolan anak-anaknya. Kalau tidak bisa dua jam lagi baru mereka makan.

Setelahnya Altaria lalu memimpin doa dan keempat orang itu mulai makan untuk merayakan hari ulang tahun Helva yang ke dua puluh lima tahun.

Satu jam kemudian ketika mereka sedang asik berbincang, pintu rumah diketuk.

“Itu hadiahnya, Ela,” seru Lian lalu berlari pelan untuk membuka pintu. Ketiga perempuan itu saling berpandangan.

Mata mereka mengarah ke arah pintu depan rumah ketika mata mereka membelalak menatap hadiah yang dimaksud Lian.

Altaria langsung menatap Lian dengan tajam. “Apa maksud lo hah? Kepercayaan gue lo rusak, bangsat,” seru Altaria dengan keras.

Raline memeluk lengan putri sulungnya untuk menenangkan Altaria. Anak sulungnya berjuang dengan trauma selama bertahun-tahun jadi sisi emosinya tentu susah dihilangkan seperti saat ini.

Lian mendesah pelan. “Maaf, Kak. Aku cuma pengen nyenengin Ela.”

Gigi Altaria bergemeletuk.

Sosok yang dimaksud Lian adalah Altair.

Sosok itu berdiri menatap Altaria, Helva dan Raline dengan sendu. Ia sudah siap dengan respon buruk yang akan diterimanya dan Altair tak masalah dengan itu. Ia hanya ingin melihat mereka secara langsung. Bertemu dengan mereka, bertatap muka dengan mereka.

Altair tahu harusnya ia tidak melakukan ini tapi perasaan rindu tidak bisa lagi ditahannya. Jadi ia terus membujuk Lian untuk mempertemukan mereka. Meski pun tidak mudah membujuk pemuda itu namun harga yang harus dibayarnya setimpal dengan ia bisa bertemu ketiga perempuan yang dicintainya itu.

Tatapan Raline tidak dipungkiri ada perasaan rindu yang membuncah di sana namun tidak sebesar itu. Berbeda dengan Helva, ia sudah menangis menatap Altair. Helva memang sangat merindukan Ayahnya itu tetapi karena takut dengan Altaria jadi ia memilih memendamnya. Jelas memang kecewa, sangat kecewa dengan Papanya, namun begitu Altair tetaplah Ayahnya yang menjaganya dan sangat menyayanginya.

Altaria tidak bisa menerima ini. Kepalanya rasanya pecah. Penyakitnya mungkin sulit untuk sembuh tetapi dirinya merasa lebih tenang.

Meski pun begitu ini adalah hal yang sama sekali belum terlintas di pikirannya. Ia masih butuh waktu.

Altaria mendengkus keras. “Gue kecewa sama lo, Lian,” kata Altaria dengan tegas dan sarat akan kekecewaan.

Ia pun berlalu menuju kamarnya yang berada di bagian belakang rumah. Mengambil jaket parkanya, sambil menentengnya di lengan Altaria berjalan melewati keempat orang yang berada di ruang tengah itu.

“Kak. Kakak, mau ke mana?”

Altaria tak berhenti atau menjawab pertanyaan Lian itu, ia membanting pintu rumah dengan kencang. Memakai jaketnya lalu berjalan ke seberang jalan dimana mobilnya masih terparkir. Altaria memasuki mobilnya dan segera membawanya pergi dari rumah.

Dalam rumah Raline mendesah pelan karena puteri sulungnya yang marah. Lian sendiri menggigit pelan bibirnya karena ia tidak pernah membuat Altaria kecewa. Dan ia tahu Kakak sepupunya itu kalau sudah kecewa susah untuk membuatnya percaya lagi.

Helva jujur saja terharu dan tentu saja merindukan Papanya. Tetapi jika di hari ulang tahunnya justru terjadi hal seperti ini lebih baik Altair tidak pernah datang menemuinya.

Padahal tadi mereka sedang berbincang seru sambil tertawa tanpa beban.

“Maaf. Harusnya aku tidak kemari.” Kesunyian yang tercipta dipecahkan oleh suara Altair.

Semua mata menatapnya. Altair tersenyum sendu. Ia menatap putri bungsunya. “Happy birthday, little one.” Altair memberikan sebuah kotak persegi pada Helva yang diterima Helva dengan ragu.

Altair mendesah lega, setidaknya Helva mau menerima hadiahnya.

Raline menatap Lian. “Kenapa kamu melakukannya, Lian? Tante bukannya menyalahkanmu hanya saja..” Raline mendesah. “Ya sudahlah.” Matanya pun terpaku pada Altair.

“Duduk, Air.” Walau bagaimana pun Raline masih tetap memperlakukan Altair dengan baik.

Altair awalnya ragu namun ia pun duduk.

“Kabar... Kalian baik ‘kan?” Tanya Altair menatap Raline dan Helva bergantian.

Raline mengangguk sambil tersenyum tulus. “Nggak pernah lebih baik dari ini.”

Hati Altair tersayat mendengar jawaban Raline. Ia tersenyum miris. Dulu Raline akan selalu memberikan senyuman itu meski pun ia tertekan. Namun Altair sadar, sejak tujuh belas tahun lalu, senyuman manis itu hilang dari Raline.

Kedua mata Raline dan Helva terlihat jelas lebih cerah dan hidup.

Ia tidak becus menjaga dan melindungi keluarganya.

“Berapa lama Papa di sini?”

Altair ingin menangis rasanya bukan karena pertanyaan Helva melainkan karena panggilan anak bungsunya padanya.

Altair ingin memeluk putrinya itu. “Hanya sampai besok.”

Helva mengangguk singkat. Suasana saat ini terasa kaku dan dingin. Seakan bergerak sedikit sudah merupakan hal yang salah.

“Terima kasih sudah datang, Pa.”

Altair memberi senyuman lebar pada anaknya. “Papa boleh peluk kamu?”

Perasaan Helva tersentuh namun ia ragu. Helva menatap Raline yang hanya memberi senyuman seolah keputusan Helva ada di tangannya dan Lian yang memberi anggukan.

Helva menipiskan bibirnya. “Eum... Boleh.”

Tanpa menunggu lama Altair langsung memeluk Helva dengan erat. Helva terkejut dengan pelukan tiba-tiba Papanya meski ia sudah memberi izin itu. Di pundaknya Helva dapat merasakan sesuatu yang basah.

Papanya menangis.

Namun Helva tidak membalas pelukan Papanya. Ia menahan perasaannya karena teringat Kakaknya yang sekarang mungkin sedang berada di kafe langganannya. Kakaknya yang selalu rela berkorban untuknya dan Mamanya.

Helva ingin kembali menangis karena pelukan dan perasaan Papanya yang tersampaikan padanya tetapi ia merasa bersalah pada Altaria.

Helva menatap Raline yang memberi senyuman menenangkan dan Lian yang juga tersenyum padanya.

“Maaf, Ela. Papa minta maaf. Papa kangen sama kamu. Papa sayang sama kamu, Kakak kamu dan Mama, Ela. Papa sayang kalian,” lirih Altair pelan di pelukan Helva yang hanya dapat didengar putrinya

Helva menggigit bibirnya. Ia menatap Raline seolah meminta tolong dan Ibunya yang melihat itu mengangguk.

“Kamu sudah makan, Air?”

Altair berusaha mengontrol diri. Ia menghapus air matanya lalu melepas pelukannya dari putri bungsunya. Altair menjauh dan duduk menghadap Raline.

“Belum.”

Raline mengangguk pelan. “La, siapin makanan untuk Papa kamu ya?”

Helva mendesah lega. “Iya, Ma.”

Helva pun berlalu ke dapur diikuti Lian. Rasanya kini waktunya Raline dan Altair untuk berbincang singkat.

–––––––

Sudah tiga puluh menit Altaria mengendarai mobilnya tak tentu arah sampai akhirnya ia memilih untuk singgah di kafe langganannya.

Ketika kakinya menginjak dalam kafe dapat dihirupnya aroma kopi yang cukup membuat pikirannya jauh lebih rileks lagi.

Altaria langsung menuju kasir. Sayang sekali di sini tidak ada teh merah karena hanya dengan teh itu Altaria merasa bisa jauh lebih tenang. Altaria memandang penjaga kasir yang sudah dikenalnya dengan akrab.

“Kau terlihat kacau,” kata Lupita penjaga kasir itu.

Altaria tersenyum kecil. “Teh panas sama brownies, Lupita.”

Lupita dengan cekatan menekan jemarinya di atas layar sentuh komputer. Altaria membayar pesanannya setelah dijumlahkan Lupita.

“Oh ya. Dominic mencarimu.”

Kening Altaria mengerut sambil tangannya menerima kembaliannya lalu memasukkannya ke dalam dompet dan dimasukkan ke saku jaketnya.

“Dominic?”

Lupita mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangannya bersandar di atas komputer. “Seorang eksekutif muda yang sudah lebih dari empat kali kemari hanya untuk mencarimu.” Wanita berusia empat puluh tahun itu memberi kerlingan genit pada Altaria.

Memutar bola matanya jengah. “Mencariku, memangnya aku anak hilang.”

Lupita tertawa kecil karena ucapan ketus Altaria. “Frank di ruangannya. Kau bisa ke sana.”

Altaria menggeleng. “Jangan lupa browniesku ditaburi gula halus.”

“Selalu aneh, Altaria.”

“Terima kasih, Lupita,” katanya seraya berlalu menuju sebuah meja yang berada di depan jendela kafe.

Altaria menunggu pesanannya diantar sambil menatap keluar. Berulang kali hembusan napas terdengar darinya.

“Butuh teman cerita?”

Altaria mendongak mendapati Frank, manajer kafe ini, seorang pria yang dua tahun lebih muda darinya mengantar pesanannya.

Altaria langsung mencari Lupita yang mana wanita itu justru tersenyum genit. Altaria mendesah pelan. Ia kembali menjatuhkan tatapannya pada Frank.

“Aku butuh sendirian.”

“Hatimu aku yakin sedang berteriak-teriak membutuhkan seorang teman.”

“Bertindak seolah-olah kau yang paling tahu.”

Frank tersenyum. Ia menyeruput perlahan kopi yang dibawanya dengan pesanan Altaria. “Tapi aku benar ‘kan? Kau sedang dalam suasana hati yang buruk?”

“Bukankah setiap hari suasana hatiku buruk?”

Frank berdecak. “Bagaimana bisa aku terus berteman denganmu padahal tahu kau sangat menyebalkan.”

Altaria tertawa kecil lalu mengerling jahil. “Tidak ada yang tidak mau berteman dengan perempuan secantik dan seanggun diriku.”

“Lihatlah. Kepercayaan diri yang selalu membuatnya merasa seolah-olah satu-satunya di dunia ini.”

“Aku ‘kan memang satu-satunya Altaria di dunia ini.”

Frank mendengkus pelan. Ia kembali menyeruput kopinya. Melihat itu Altaria tertawa. Ia mengikuti Frank untuk meminum tehnya.

“Oh ya.” Frank meletakkan cangkir kembali ke atas meja dan menatap Altaria. “Bukankah hari ini hari ulang tahun adikmu?”

Altaria menatap Frank beberapa saat. Pria berambut coklat tua dan beriris hijau itu sudah menjadi salah satu teman baiknya selama ia berada di Finlandia. Semenjak Altaria yang setiap hari selalu ke kafenya memesan teh untuk menemani harinya, Frank pun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya dari situlah pertemanan mereka terjalin sampai sekarang.

Sejak menginjakkan kaki di negara yang katanya tingkat kebahagiaan nomor satu di dunia ini Altaria merubah pola hidupnya. Ia mulai terbuka, ramah dan tersenyum kepada orang-orang yang dikenalnya terutama pada penduduk di daerah tempatnya tinggal.

Altaria mengakui negara ini memang benar membuatnya bahagia dan tenang. Sehingga niatnya yang hanya akan berada dua tahun pun selalu berubah, menambah setahun lagi sampai sudah empat tahun Altaria, Mamanya dan adiknya tinggal di Finlandia.

“Apa kau pernah membenci, Frank?”

Frank memusatkan perhatiannya pada Altaria. “Kau membenci seseorang?”

Altaria tersenyum kecut. “Aku membenci dunia ini.”

Frank tidak pernah tahu ini. Ia akui Altaria tertutup, sering memerhatikan membuatnya tahu Altaria mempunyai aura yang berbeda dan sedikit kelam. Sedikit banyak ia tahu tujuan Altaria beserta Mama dan adiknya ke negara ini adalah untuk hidup tenang namun ternyata alasannya tidak sesederhana itu.

“Dunia ini tidak akan pernah ada yang bisa menyenangkan hatimu. Hidup untuk membenci hanya semakin mengurangi kebahagiaan. Mau cari sampai di mana pun tidak akan pernah ada karena ada benci di sana.”

Altaria mendengkus pelan. “Aku heran. Manusia sepertimu bisa-bisanya berbicara bijak seperti itu.”

“Sialan, malah mengataiku.” Mimik wajah Frank lalu berubah serius. “Lubang kosong yang ada di hatimu sudah saatnya belajar untuk ditutup.”

“Aku membenci Ayahku,” ucap Altaria kemudian. “Dan setiap melihatnya semua bayang-bayang masa lalu seakan menghantui.”

Sudah Frank duga, melihat hanya tiga perempuan tanpa ada laki-laki apalagi selama empat tahun ini, hanya selalu terlihat mereka bertiga saja kecuali sesekali sepupu Altaria saja yang datang. Ternyata hubungan mereka dengan kepala keluarga kurang baik.

“Apa kesalahannya fatal?”

Altaria menghembuskan napas berat. “Ya.”

“Kau sudah memaafkannya?”

Altaria diam tidak menjawab. Sulit rasanya memaafkan Papanya. Meski pun Altaria sudah bisa berdamai dengan masa lalu tetapi untuk memaafkan Papanya rasanya masih sulit.

“Lakukan yang menurutmu baik, Alta. Kalau mau rasa itu bisa memberimu ketenangan. Aku tidak mengetahui cerita kehidupanmu jadi aku tidak bisa berkomentar banyak. Hanya saja jangan menyusahkan dirimu lebih lama. Kebahagiaan menantimu.”

Frank mengulum senyuman manis sehingga membuat sudut hati Altaria terasa hangat.

Frank menghabiskan kopinya lalu meninggalkan Altaria sendiri menikmati sore hari itu dalam diam dan mungkin merenung.

Bersambung..

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hmmm... Mungkin jalan cerita ini kayak lebih banyak konflik dalam keluarga yaa, karena memang itu inti cerita ini diselingi dengan cerita cinta..

Part ini dan part depan masih menyangkut keluarga yaa, dan part berikutnya lagi baru aku masukkin cerita cintanya Altaria.

Mungkin aku nggak bakal buat panjang kisah cintanya Altaria, dan sepertinya aku bakal bikin open ending, i dunno, masih bingung juga..

Yang pasti cerita ini gak bakal sampe 60 parts pusing gue kalo kebanyakan mesti mikir jalan ceritanya juga hahaha

Published: July, 6th 2021
Revised: June, 9th 2024

Altaria [Completed] || RevisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang